JAKARTA, HUMAS MKRI – Rektor dan sejumlah jajarannya bersama para mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pertiba Pangkalpinang mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (02/20/2024). Rombongan dari Kepulauan Bangka Belitung itu melakukan diskusi bersama Asisten Ahli Hakim Konstitusi Ahli Madya Nallom Kurniawan di Ruang Audiensi Lantai 4 Gedung 1 MK, Jakarta Pusat.
Banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh peserta diskusi kepada Nallom yang juga penulis buku berjudul “Dinamika HAM dan Tanggung Jawab Negara”. Salah satunya pertanyaan mengenai peran MK dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Menurut Nallom, dalam konteks pelanggaran HAM berat, peran MK sebagai lembaga peradilan tidak banyak.
“Jadi, peran Mahkamah Konstitusi tidak bisa banyak dalam proses pelanggaran HAM berat, makanya kita punya hakim HAM adhoc,” ujar Nallom.
Dia mengatakan, meskipun hak konstitusional sudah dijamin di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, pelanggaran HAM berat itu merupakan hal berbeda. Pelanggaran HAM berat terjadi di masa lalu dan biasanya terjadi pada situasi politik tertentu seperti perebutan kekuasaan pada masa Indonesia baru merdeka karena suhu politik memanas. Karena itu, kata Nallom, penting untuk membuat situasi demokrasi itu tidak panas.
“Setelah saya melakukan beberapa penelitian dalam beberapa perkara atau kasus yang penting itulah yang saya temukan irisannya pasti politik,” kata dia.
Nallom menyebutkan, MK pernah membatalkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR). Sebagai informasi, dalam putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006, Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon serta menyatakan UU 27/2004 bertentangan dengan UUD Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menurut dia, apabila saat ini mencuat isu menghidupkan kembali KKR, maka perlu bertarung lagi untuk mengungkap fakta dan kebenaran. Sedangkan, Nallom berpendapat, hal tersebut menjadi lebih berbahaya. Saat ini yang bisa dilakukan adalah memberikan kompensasi dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM.
“Tetapi berikan hak-hak konstitusionalnya saja sudah, dalam tanda petik sebagai bentuk kompensasi,” tutur dia.
Di samping itu, MK juga pernah menghapus pembatasan terhadap keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembatasan terhadap keturunan PKI pernah dilakukan pada masa Orde Baru. Dalam Putusan MK Nomor 011-017/PUU-I/2003, Mahkamah mengabulkan permohonan serta menyatakan Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pada pokoknya, Mahkamah membatalkan ketentuan larangan bekas anggota PKI atau organisasi terlarang lainnya menjadi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Nallom berpendapat, tidak akan ada pelanggaran HAM berat jika suhu politik tidak memanas atau bisa diselesaikan melalui mekanisme yang baik. Saat ini yang dapat dilakukan ialah penting untuk setiap pihak memastikan hak-hak konstitusional warga dipenuhi dan menjaga stabilitas politik dengan baik.
Salah satunya MK sebagai pengawal konstitusi yang bertugas memastikan kepatuhan terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MK dapat memastikan segala peraturan dan tindakan yang diambil pemerintah/lembaga negara serta DPR sesuai dengan konstitusi dan melindungi hak-hak serta kebebasan konstitusional warga negara.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.