JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pemeriksaan lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan ahli/saksi dari Presiden/Pemerintah atas Perkara Nomor 19, 31, dan 32/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Ahli yang dihadirkan Presiden, Candra Fajri Ananda membantah dalil para Pemohon yang menyatakan adanya tindakan diskriminatif atas pengenaan tarif khusus Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) pada jasa hiburan mandi uap/spa dan karaoke sebesar 40 persen hingga 75 persen.
“Beberapa hal terkait dengan pengenaan tarif PBJT atas jasa kesenian dan hiburan tertentu sebagai tindakan diskriminatif dan tidak adil tidaklah tepat dan terbantahkan,” ujar Candra yang merupakan Guru Besar Ilmu Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya di hadapan para hakim konstitusi pada Selasa (1/10/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat.
Menurut Candra, tarif yang berbeda yang diberikan kepada wajib pajak adalah sebagai wujud keadilan yang diberikan kepada masyarakat. Pemerintah mengatur bagaimana kelompok berpendapatan tinggi untuk memberikan kewajibannya dan diberikan kepada kelompok berpendapatan rendah sebagai wujud keadilan.
Merujuk teori Maslow, pemenuhan konsumsi jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi/uap spa bukan merupakan kebutuhan pokok/primer, tetapi masuk pada kategori tersier, lebih mengarah kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri sehingga sangat terkelompok (segmented). Selain itu, Puskapu Fakultas Hukum Universitas Lampung (2022) menyatakan pengenaan tarif tinggi untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa secara tidak langsung merupakan penerapan fungsi regulerend pajak, misalnya pengenaan tarif tinggi menyebabkan masyarakat khususnya anak remaja untuk mengurangi penggunaan jasa hiburan dari diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa tersebut.
Hal itulah, menurut Candra, yang sepertinya menjadi alasan pemerintah memerlukan besar tarif pajak minimal 40 persen dan maksimal 75 persen pada jasa diskotek, karaoke, klub malam, bar, dan mandi uap/spa. Dalam konteks pajak ini, pemerintah memang memberlakukan diskriminatif pajak, yang dasarnya adalah pihak fiscus (pemerintah) menerapkannya pada sesuatu yang sifatnya kategorikal (pengelompokan) yakni atas dasar kemampuan daya beli/tingkat kekayaan wajib pajak.
Candra juga mengatakan, UU HKPD juga memberikan peluang untuk pemerintah memberikan insentif kepada para wajib pajak dengan alasan tertentu, seperti alasan menciptakan lingkungan usaha yang lebih baik. Beberapa kabupaten/kota telah memberikan insentif kepada pelaku usaha dengan harapan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tetap terjaga dengan baik sesuai target, sementara kegiatan usaha masih mampu tumbuh dan berkembang.
Selanjutnya Candra mengungkapkan sebenarnya para pelaku usaha pada sektor ini dimungkinkan mendapatkan kemudahan dan keringanan atas beban pajak tersebut sesuai dengan peraturan yang diterbitkan kepala daerah. Hal yang patut dipahami adalah insentif yang diberikan harus bersifat target sektor yang jelas dan memiliki batasan waktu yang semua ditetapkan oleh pemerintah daerah (pemda) sendiri melalui perundang-undangan.
Penerapan di Kota Depok
Selain Candra, Pemerintah juga mengajukan Dosen Hukum Pajak Universitas Gadjah Mada Adrianto Dwi Nugroho yang menyampaikan keterangan ahli secara daring. Pemerintah pun menghadirkan Kepala Badan Keuangan Daerah Pemerintah Kota Depok Wahid Suryono sebagai Saksi dalam persidangan di MK secara langsung.
Wahid menuturkan, Pemerintah Kota Depok menetapkan tarif PBJT atas jasa kesenian dan hiburan khususnya diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Depok Nomor 1 Tahun 2024 pada Pasal 29 ayat (6). Depok menetapkan tarif khusus PBJT atas hiburan pada mandi uap/spa dan karaoke sebesar 40 persen serta diskotek, kelab malam, dan bar sebesar 75 persen.
Dia mengatakan, hal itu berkaitan dengan visi Kota Depok, yaitu Kota Niaga dan Jasa yang Religius dan Berwawasan Lingkungan. Religius bermakna peningkatan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta kemuliaan dalam akhlak, moral, dan etika.
“Salah satu konsekuensi dan komitmen kami atas visi Kota Depok tersebut, kami terjemahkan dengan pengenaan tarif yang relatif tinggi untuk membatasi perkembangan sektor yang tidak mendukung visi Kota Depok tersebut,” kata Wahid.
Wahid menjelaskan, pemberian insentif perpajakan sesuai Pasal 101 UU HKPD di Pemerintah Kota Depok tertuang dalam Perda Kota Depok 1/2024 bahwa khusus tarif PBJT atas jasa kesenian dan hiburan yang menggunakan sistem pencatatan omset dalam jaringan berbasis elektronik yang terintegrasi dengan sistem informasi pajak diberikan pengurangan tarif sebesar 3 persen. Berdasarkan data realisasi pajak dan jumlah wajib pajak pada sektor jasa kesenian dan hiburan tertentu menunjukkan kenaikan tarif tidak berdampak pada penurunan penerimaan pada sektor tersebut, justru mengalami peningkatan baik realisasi dan jumlah wajib pajaknya. Penurunan terjadi karena adanya penurunan kemampuan membayar dari konsumennya yang dalam hal ini terjadi saat pandemi Covid-19.
Baca juga:
Pengusaha Minta Spa Tidak Masuk Kategori Jasa Kesenian dan Hiburan
Pengusaha Karaoke Uji Ketentuan Pajak Hiburan
Sejumlah Pengusaha Persoalkan Pengkhususan Tarif Pajak Hiburan
Pemohon: Usaha Spa Berpotensi Bangkrut Akibat Tarif Pajak 40 Persen
Pengusaha Karaoke Perbaiki Permohonan Uji Ketentuan Pajak Hiburan
Pengusaha Minta Pajak Hiburan Maksimal 10 Persen
Bukan Kebutuhan Dasar Jadi Alasan Pemerintah Tetapkan Tarif Pajak Tinggi Bagi Tempat Hiburan Malam dan Spa
Ahli Sebut SPA Termasuk Pelayanan Kesehatan, Bukan Hiburan
Sidang Uji Materiil UU HKPD Menyoal Tarif Khusus Pajak Hiburan Dijadwalkan Ulang
Ahli Sebut Pengenaan Tarif PBJT Seragam Atas Jasa Hiburan yang Berbeda Tidak Adil
Ahli: Efek Domino Tarif PBJT 40 – 75 Persen Hingga Menyumbang Pengangguran
Ahli Ungkap Alasan Mandi Uap/Spa Masuk Pajak Hiburan
Sebagai informasi, pasal yang diuji dalam UU HKPD adalah Pasal 55 ayat (1) huruf l dan Pasal 58 ayat (2). Pasal 55 ayat (1) huruf l berbunyi, “Jasa kesenian dan hiburan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 huruf e meliputi: l. Diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.” Serta Pasal 58 ayat (2) menyatakan, “Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).”
Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024 dimohonkan sejumlah pengusaha yang bergerak di bidang jasa pelayanan kesehatan mandi uap atau juga dikenal dengan spa. Para Pemohon merasa dirugikan karena usaha spa yang notabenenya bergerak dalam bidang kesehatan kemudian dikategorikan sebagai penyedia jasa kesenian dan hiburan yang disamakan dengan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar. Akibatnya, pengusaha spa harus menanggung tarif PBJT sebesar 40-75 persen yang dikenakan pemerintah daerah. Sedangkan, usaha sejenis panti pijat dan pijat refleksi hanya dikenakan tarif PBJT sebesar 10 persen. Para Pemohon menginginkan agar mandi uap atau spa dikeluarkan dalam kategori jasa kesenian dan hiburan yang dikenakan tarif khusus PBJT paling rendah 40-75 persen.
Perkara Nomor 31/PUU-XXII/2024 diajukan Santoso Setyadji, seorang pengusaha karaoke keluarga. Pemohon menyatakan tarif PBJT terbaru akan berpengaruh terhadap konsumen yang dikenakan pajak PBJT minimal 40 persen dari jumlah konsumsi jasa karaoke yang digunakan. Menurut Pemohon, konsumen akan memperhitungkan nilai sejumlah biaya yang harus dibayarkan atas konsumsi barang dan/atau jasa yang telah dikonsumsi karena belum termasuk pengenaan pajak yang tinggi. Pemohon meminta MK menambah kata/frasa “dikecualikan terhadap karaoke keluarga” dalam pasal 58 ayat (2) UU HKPD.
Sementara, Perkara Nomor 32/PUU-XXII/2024 diajukan para pengusaha yang mewakili enam badan hukum yang menjalankan usaha dalam bidang pariwisata dan jasa/hiburan, yaitu Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI), PT Kawasan Pantai Indah, CV. Puspita Nirwana, PT Serpong Abadi Sejahtera, PT Citra Kreasi Terbaik, dan PT Serpong Kompleks Berkarya. Para Pemohon mengaku mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 58 ayat (2) UU HKPD yang mengatur pengkhususan tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina