JAKARTA, HUMAS MKRI - Helmi Hasan (Wali Kota Bengkulu Periode 2013–2018 dan 2018–2023), Mian (Bupati Bengkulu Utara), Elva Hartati (Anggota DPR RI periode 2019-2024), dan Makrizal Nedi (Wiraswasta) mengajukan permohonan pengujian Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi. Sidang perdana Perkara Nomor 129/PUU-XXII/2024 ini dilaksanakan pada Kamis (26/9/2024) di Ruang Sidang Panel MK, dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Pasal 162 ayat (1) UU Pilkada menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan”.
Pasal 162 ayat (2) UU 10/2016 menyatakan, “Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (3) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan”.
Para Pemohon melalui Mahkfud selaku kuasa hukum mengatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Pemohon I dan Pemohon II merupakan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Bengkulu gabungan partai politik dalam Pilkada 2024. Pengusungan pasangan calon ini telah melebihi 10% dari suara sah, sehingga memenuhi syarat pendaftaran dari sisi jumlah dukungan suara partai politik sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Bengkulu dalam Pemilihan Gubernur 2024. Sementara Pemohon III dan Pemohon IV adalah pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bengkulu Selatan gabungan partai politik dalam Pilkada 2024. Pada 14 September 2024, Pemohon III dan Pemohon IV dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU Bengkulu Selatan sebagai pasangan calon Bupati-Wakil Bupati Bengkulu Selatan.
Berdasarkan Putusan Nomor 22/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 67/PUU-XVIII/2020, dan Putusan Nomor 2/PUU-XXI/2023, maka Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada telah mengalami pergeseran makna konstitusionalitasnya. Karena MK tidak lagi membedakan antara menjabat secara definitif maupun menjabat sementara dan telah menentukan dengan cara menghitung masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota definitif yaitu terhitung sejak tanggal pelantikan. Pada sisi lainnya, untuk Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Walikota, pasal-pasal tersebut tidak menjelaskan sejak kapan menghitung masa jabatannya ketika wakil gubernur, wakil bupati atau wakil walikota menggantikan gubernur, bupati atau walikota yang melaksanakan tugas dan wewenang sementara.
Lebih jelas Makhfud mengatakan, keberlakuan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada dengan tanpa menjelaskan cara menghitung masa jabatan bagi pejabat gubernur, bupati, atau walikota sementara, yang ditindaklanjuti oleh KPU dengan menerbitkan PKPU Nomor 8 Tahun 2024 dan Bawaslu dengan menerbitkan SE Nomor 96 Tahun 2024, maka penyelenggara pemilu telah salah dalam menafsirkan putusan MK tersebut. selain itu, penyelenggara pemilu juga sengaja melawan atau setidaknya mengabaikan putusan MK.
“Sebelum KPU menerbitkan PKPU Nomor 8 Tahun 2024, Kementerian Dalam Negeri sudah mengingatkan melalui surat yang pada pokoknya, dengan menambahkan ketentuan masa jabatan Pelaksana Tugas Kepala Daerah terhitung sejak ditetapkan dalam Surat Keputusan atau dalam hal Kepala Daerah definitif berhalangan sementara sejak berstatus sebagai Terdakwa, tetapi KPU berlindung di balik legalitas formal atas keberlakuan pasal yang dimohonkan pengujian. Sehingga patut diduga telah sengaja memberikan “karpet merah” bagi pejabat-pejabat yang pernah dua kali menduduki jabatan dalam jabatan yang sama untuk bisa mendaftar sebagai calon kepala daerah yang terbukti terdapat 17 calon kepala daerah yang sudah dua kali menduduki jabatan dalam jabatan yang sama mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah mendasarkan pada keberlakuan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 tersebut,” jelas Makhfud.
Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 162 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai: Pasal 162 ayat (1) ditambah satu ayat sehingga menjadi berbunyi, Ayat (1a) “Dalam hal Gubernur berhalangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan Wakil Gubernur melaksanakan tugas dan wewenang sebagai Gubernur terhitung sejak ditandatangani keputusan pengangkatannya.”
Kemudian, para Pemohon meminta meminta MK menyatakan Pasal 162 ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai: Ayat (2) ditambah satu ayat sehingga menjadi berbunyi, Ayat (2a) “Dalam hal Bupati atau Walikota berhalangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan Wakil Bupati atau Wakil Walikota melaksanakan tugas dan wewenang sebagai Bupati atau Walikota terhitung sejak ditandatangani keputusan pengangkatannya.”
Kerugian Konstitusional
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam nasihat Majelis Sidang Panel mengatakan perlu bagi Pemohon untuk menjelaskan kualifikasi yang disertakan syarat-syarat kerugian konstitusionalnya serta hak yag diberikan UUD 1945. “Apakah kerugian itu bersifat potensial atau aktual, apabila permohonan dikabulkan ini dampaknya akan seperti apa, ini mutlak sifatnya. Karena terkait dengan legal standing para Pemohon dan pada permohonan ini juga belum menjabarkan landasan pengujiannya,” sampai Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dalam nasihat hakim melihat permohonan para Pemohon telah pernah diputus MK dalam beberapa putusan terdahulu. Selain itu, para Pemohon belum menjelaskan secara terang benderang kerugian konstitusional yang dialami atas keberlakuan pasal-pasal tersebut.
Kemudian Wakil Ketua MK Saldi Isra memberikan catatan tentang kewenangan Mahkamah yang masih belum disampaikan dengan baik oleh para Pemohon. Selain itu, pertentangan antara norma yang diuji dengan pasal yang ada pada konstitusi perlu dipertajam , sehingga terlihat pertentangannya.
Pada akhir persidangan, Saldi Isra mengatakan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Selanjutnya naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Rabu, 9 Oktober 2024 pukul 15.00 WIB ke Kepaniteraan. Untuk kemudian Mahkamah akan menjadwalkan sidang kedua dengan menginformasikan terlebih dahulu kepada para Pemohon.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: N. Rosi
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.