JAKARTA, HUMAS MKRI – Dua warga Banten dan satu warga Jakarta mengajukan permohonan pengujian sejumlah pasal dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pemilihan Kepala Daerah/Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal-pasal yang diuji antara lain Pasal 79 ayat (1) UU 1/2015, Pasal 94 UU 8/2015, serta Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU 10/2016.
Heriyanto (Pemohon I), Ramdansyah (Pemohon II), dan Raziv Barokah (Pemohon III) menguji konstitusionalitas pasal UU Pilkada tersebut dengan batu uji sejumlah pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Menurut para Pemohon, pemilihan kandidat pasangan calon kepala daerah yang diusung saat ini tidak memperhatikan kehendak rakyat, melainkan mengutamakan pilihan elite partai politik.
“Kami melihat justru pasangan yang ada itu lebih banyak dihasilkan dari yang namanya kandidasi buying atau pork barrel politic juga didalamnya Yang Mulia,” ujar Heriyanto selaku Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 125/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta pada Rabu (25/9/2024).
Para Pemohon menguraikan, hampir semua ketua umum atau sekretaris jenderal partai politik memiliki kartu as yang dipegang oleh penguasa. Sebagian besar elite partai politik bersama penguasa pemerintahan justru berkoalisi untuk memonopoli peta pemilihan kepala daerah di berbagai daerah di Tanah Air.
Menurut para Pemohon, bakal pasangan calon kepala daerah di sejumlah wilayah tidak diusung untuk kepentingan rakyat, melainkan hanya kepentingan penguasa. Bahkan, karena koalisi gemuk tersebut dibentuk mengakibatkan hanya ada satu pasangan calon kepala daerah, sehingga akan ada pertarungan melawan kotak kosong.
Namun, para Pemohon menginginkan konsep kotak kosong berlaku juga atas daerah yang memiliki dua atau lebih pasangan calon kepala daerah. Hal ini sebagai bentuk penolakan pemilih untuk memilih pasangan calon kepala daerah yang ada.
Pada pokoknya, para Pemohon menginginkan ada fasilitasi terhadap keberadaan suara kosong atau blank vote dengan mengakui keberadaan kotak kosong di dalam surat suara bagi daerah yang memiliki dua atau lebih padangan calon dan menyatakan suara kosong sebagai suara sah dan mempengaruhi keterpilihan dari hasil pilkada. Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 79 ayat (1) UU 1/2015, Pasal 94 UU 8/2015, serta Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai seperti yang dimohonkan para Pemohon.
Nasihat Hakim
Perkara Nomor 125/PUU-XXII/2024 ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Anwar Usman. Para hakim konstitusi kompak mempertanyakan argumentasi para Pemohon mengenai kotak kosong ini, karena jika ini diterapkan, maka pilkada nanti sulit mencapai pasangan calon kepala daerah konkrit yang terpilih.
“Kalau hanya blank vote dan kemudian untuk representasi suara kosong berarti kan tidak muncul figurnya di sini, bagaimana kemudian itu bisa terpecahkan, para Pemohon bisa memberikan elaborasi di dalam posita termasuk ada dampak tidak di petitumnya, kalau ada petitumnya harus diselaraskan,” ujar Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo mengatakan para Pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Berkas perbaikan permohonan paling lambat harus diterima Mahkamah pada 8 Oktober 2024 pukul 15.00 WIB. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan