JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menunda sidang pengujian materi Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dalam Perkara Nomor 83/PUU-XXII/2024. Persidangan ditunda karena Presiden/Pemerintah belum siap menyampaikan keterangan. Sedangkan DPR tidak dapat menghadiri persidangan dan mengirimkan surat permintaan penjadwalan ulang sidang dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden.
“Pemerintah belum siap dengan keterangannya, termasuk juga DPR meminta penjadwalan ulang. Oleh karena itu, persidangan ini belum bisa dilanjutkan dan akan dijadwalkan kembali pada hari Selasa tanggal 15 Oktober 2024 pukul 10.30 WIB,” ujar Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi seluruh hakim konstitusi dalam persidangan yang dilaksanakan pada Rabu (25/9/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Saat Mahkamah mengkonfirmasi, perwakilan Pemerintah menyatakan pihaknya masih memerlukan koordinasi untuk pembahasan keterangan Presiden ini. Dalam sidang perkara ini, Presiden diwakili Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, dan Kejaksaan Agung.
Baca juga:
Ahli Waris Asuransi Uji Materi KUHD
Ahli Waris Penerima Manfaat Asuransi Perbaiki Uji KUHD
Sebagai informasi, Maribati Duha, ahli waris dari penerima manfaat atas nama Almarhum Sopan Santun Duha, mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Pemohon Perkara Nomor 83/PUU-XXII/2024 memberikan tiga alternatif penafsiran atau pemaknaan baru terhadap Pasal 251 UU KUHD.
Permohonan ini terkait dengan pengujian konstitusionalitas norma yang terdapat dalam Pasal 251 KUHD yang berbunyi, “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal.”
Dalam petitum, Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 251 KUHD sepanjang frasa “pertanggungan itu batal” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pembatalan pertanggungan harus atas putusan pengadilan yang berwenang terkecuali pembatalan tersebut didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung” atau “pembatalan pertanggungan harus atas putusan pengadilan yang berwenang terkecuali pembatalan itu dilakukan oleh penanggung dalam rentang waktu paling lama 6 (enam) bulan karena ditemukannya ketidaksesuaian data tertanggung antara data yang tertera dalam formulir pertanggungan dengan data yang sebenarnya” atau “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tdak diadakan dengan syarat-syarat yang sama.
Menurut Pemohon, ketentuan norma dalam pasal tersebut membuka ruang yang begitu besar bagi perusahaan asuransi memanfaatkan peraturan undang-undang guna kepentingan pribadi perusahaan. Ketentuan norma Pasal 251 KUHD juga dapat dimanfaatkan guna menghindari pertanggungjawaban atas kesalahan atau kelalaian yang dibuat oleh tim internal perusahaan asuransi itu sendiri. Kelalaian dimaksud antara lain underwriting ulang atau seleksi risiko yang merupakan proses penaksiran dan penggolongan tingkat risiko yang ada pada seorang calon tertanggung.
Underwriting sering kali kembali dilakukan bahkan hampir selalu dilakukan perusahaan asuransi apabila ahli waris mengajukan klaim atas nilai manfaat yang diperjanjikan dalam polis, hal ini sebagaimana dialami Pemohon pada saat mengajukan klaim ke Prudential. Tindakan perusahaan tersebut merupakan motif atau tricky untuk membatalkan polis atau setidak-tidaknya mengurangi nilai manfaat yang dapat diklaim sebagaimana dialami Pemohon. Motif itu seolah-olah sah di mata hukum karena berlakunya Pasal 251 KUHD.
Pasal 251 KUHD membuka ruang bagi perusahaan asuransi memanfaatkannya sebagai senjata sakti melakukan berbagai tricky yang bertujuan untuk menghindar dari tanggung jawab pembayaran klaim. Selain itu Pasal a quo sama sekali tidak memberi ruang bagi tertanggung/pemegang polis atau ahli warisnya untuk membuktikan jika kesalahan atau kelalaian tidak berada pada dirinya dan membuktikan bahwa tertanggung telah melakukan itikat terbaik (Utmost Good Faith). Hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip negara hukum yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Sopan Santun Duha merupakan tertanggung/pemegang polis atas nama almarhum Latima Laia yang terdaftar sebagai tertanggung/pemegang polis asuransi jiwa dari PT Prudential Life Assurance. Hingga permohonan ini dibuat, Prudential masih memiliki kewajiban untuk membayar sisa nilai manfaat yang semestinya diterima penerima manfaat atas nama Sopan Santun Duha sebesar Rp 510,5 juta. Namun, Sopan Santun Duha telah meninggal dunia pada 7 Januari 2024 sehingga nilai manfaat belum dibayarkan Prudential. Menurut Pemohon, secara hukum jatuh kepadanya atau menjadi hak Pemohon yang merupakan ahli waris sah dari penerima manfaat.
Baca juga:
Nilai Klaim Asuransi Tak Sesuai, Pemohon Uji KUHD
Ketika Pemohon Perkara di MK Meninggal Dunia
Sopan Santun Meninggal, Uji KUHD Gugur
Sebelumnya, Sopan Santun Duha pernah mengajukan permohonan serupa yang teregistrasi dengan Perkara Nomor 2/PUU-XXII/2024. Namun, pada sidang perbaikan permohonan pada 5 Februari 2024 lalu, Sopan Santun Duha diketahui meninggal dunia pada 7 Januari 2024. Kemudian, Mahkamah menyatakan permohonan tersebut gugur pada sidang pengucapan putusan/ketetapan pada 13 Februari 2024. Sebab, Pemohon perkara meninggal dunia sehingga permohonan tersebut kehilangan subjek hukum dan permohonan tidak dapat dilanjutkan.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N Rosi.
Humas: Fauzan F.