JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) terhadap UUD 1945, pada Senin (23/9/2024) di Ruang Sidang Panel MK. Agenda sidang Perkara Nomor 123/PUU-XXII/2024 yang diajukan Deddi Fasmadhy Satiadharmanto ini yakni pemeriksaan pendahuluan.
Deddi Fasmadhy Satiadharmanto (Pemohon) mengujikan Pasal 48 ayat (4) dan ayat (5) UU Pilkada yang mengatur bahwa KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota, dengan bantuan pasangan calon perseorangan atau tim yang diberi kuasa, harus menyerahkan dokumen syarat dukungan kepada Panitia Pemungutan Suara (PPS) untuk dilakukan verifikasi faktual paling lambat 28 hari sebelum waktu pendaftaran pasangan calon dimulai. Selain itu, verifikasi faktual ini harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 hari setelah dokumen diserahkan ke PPS.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Suhatoyo, Pemohon yang hadir tanpa didampingi kuasanya mengatakan ketentuan tersebut merugikan calon perseorangan dan dapat menurunkan partisipasi pemilih, terutama bagi mereka yang merasa tidak memiliki pilihan alternatif yang layak. Ketentuan ini dianggap melanggar Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menjamin kesetaraan di hadapan hukum, karena calon perseorangan berisiko menghadapi diskriminasi dibandingkan dengan calon yang diusung oleh partai politik, yang mungkin lebih siap secara administratif dan logistik. Hal ini juga bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam pemilihan umum yang adil dan kompetitif.
“Pada saat ini kondisi politik conflict of interest yang terjadi menilai perlu adanya perpanjangan untuk waktu perpanjangan waktu perseorangan,” ujarnya.
Menurut Pemohon, keterbatasan jangka waktu pelaksanaan verifikasi faktual dapat menyebabkan diskriminasi terhadap pasangan calon perseorangan dibandingkan dengan pasangan calon yang diusung oleh partai politik, yang mungkin memiliki sumber daya dan dukungan yang lebih siap. Selain itu, ketidaksinkronan antara tahapan verifikasi faktual dan jadwal pendaftaran pasangan calon juga berdampak pada kepastian hukum dan keadilan dalam pemilu, terutama bagi calon perseorangan dalam mempersiapkan dukungan.
Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya memohon agar diberi kelonggaran bagi proses pendaftaran pasangan calon perseorangan. Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 48 ayat (4) dan ayat (5) UU Pilkada tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur mengatakan sistematika permohonan telah sesuai dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021). Namun menurut Ridwan, terdapat catatan yang perlu diperbaiki agar menjadi lebih baik dan sesuai kaidah penulisan permohonan. “Ini ada tujuh halaman saya hitung. Permohonan saya lihat masih berliku-liku, mestinya kan kerapihan penting agar mudah dibaca dan jelas,” kata Ridwan menasihati.
Penulis: Utami Argawati
Editor: N Rosi.
Humas: Fauzan F.