JAKARTA, HUMAS MKRI – Seorang advokat bernama Harseto Setyadi Rajah mengajukan pengujian materi Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pemilihan Kepala Daerah/Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menambahkan ketentuan mengenai pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan pemerintahan daerah (pemda).
Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada berbunyi, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan: a. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan b. dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.” Sementara, dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah memaknai pasal a quo menjadi “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan: a. menjalani cuti di luar tanggungan negara; b. pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan c. dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.”
Menurut Pemohon, UU Pilkada tidak mengatur ketentuan mengenai pelaksanaan cuti dan jadwal cuti yang harus memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemda. Ketiadaan aturan tersebut mengakibatkan pelaksanaan cuti pada masa kampanye bagi petahana kepala daerah dalam Pillkada 2024 ini akan dilaksanakan selama dua bulan penuh.
Sedangkan, apabila merujuk ketentuan Pasal 281 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), presiden dan wakil presiden, baik petahana maupun bukan petahana, yang mengikuti kampanye pemilu tidak harus menjalani cuti secara penuh waktu selama masa kampanye. Akan tetapi, pelaksanaan dan jadwal cutinya diatur dengan tetap memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan pemerintahan negara dan pemerintahan daerah.
“Dengan pengaturan cuti sebagaimana UU Nomor 7 Tahun 2017 ini, maka dipastikan tidak akan mengganggu pelaksanaan tugas pejabat yang bersangkutan dalam menyelenggarakan pemerintahan,” ujar kuasa hukum Pemohon, Viktor Santoso Tandiasa dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Senin (23/9/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat.
Pemohon mengatakan, perbedaan pengaturan mengenai cuti pada masa kampanye antara yang diatur dalam UU 10/2016 dan UU 7/2017 ini jelas telah menimbulkan ketidakharmonisan dalam penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Terlebih, Mahkamah sejak Putusan Nomor 85/PUU-XX/2022 tanggal 29 September 2022 kembali telah menegaskan tidak terdapat lagi perbedaan rezim pemilihan.
Menurut Pemohon, tafsir Mahkamah atas UUD 1945 yang tidak lagi membedakan antara pemilihan umum nasional dengan pemilihan kepala daerah, seharusnya berakibat pula pada perubahan penafsiran secara menyeluruh (komprehensif dan holistik) atas pengaturan mengenai penyelenggaraan Pilkada, termasuk dalam hal ini pengaturan cuti pada masa kampanye bagi kepala daerah petahana. Pengaturan cuti kampanye yang diatur dalam UU 10/2016 yang tidak harmonis dengan yang diatur dalam UU 7/2017, maka ketentuan Pasal 70 ayat (3) UU 10/2016 ini jelas bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menentukan Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali, karena sudah tidak terdapat lagi perbedaan rezim antara pemilu dan pilkada.
“Berkenaan dengan upaya memastikan dan mencegah kepala daerah petahana tidak akan menyalahgunakan fasilitas yang melekat pada jabatannya untuk kepentingan kampanye pemilihan sehingga dapat merugikan calon kepala daerah yang lain, maka diperlukan pengawasan yang ketat dan penerapan sanksi yang tegas dari lembaga yang berwenang terhadap penerapan ketentuan larangan menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 70 ayat (3) UU 10/2016,” kata Viktor.
Nasihat Hakim
Permohonan ini diregistrasi dengan Perkara Nomor 122/PUU-XXII/2024. Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arsul Sani.
Arsul mengatakan, petitum yang demikian sama saja Pemohon meminta Mahkamah menjadi positive legislator karena menambahkan ketentuan baru dalam pasal a quo. Dia mempertanyakan argumentasi kuat Pemohon atas petitum tersebut.
“Argumentasinya apa? Biar DPR dan Pemerintah tidak marah, kok Mahkamah harus ini, karena ini bukan pemaknaan sepanjang tidak dimaknai, tapi sesungguhnya Saudara minta ditambah lagi norma baru,” kata Arsul.
Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan, Pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Berkas perbaikan permohonan paling lambat diterima Mahkamah pada 7 Oktober 2024 pukul 15.00 WIB.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina