JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan dari peserta Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bekerja sama dengan Dewan Pengurus Pusat Perhimpunan Advokat Indonesia (DPP PERADI) Pergerakan, pada Kamis (19/9). Kunjungan tersebut merupakan bagian dari program PKPA Angkatan ke-3. Asisten Ahli Hakim Konstitusi Bisariyadi yang menerima kunjungan ini memberikan materi mengenai kewenangan MK dan hukum acara di MK.
Bisariyadi yang akrab disapa Bisar menyampaikan bahwa dalam sistem hukum, perlu membedakan antara hukum materiil dan hukum formil. Hukum materiil mengacu pada substansi hukum itu sendiri, yaitu aturan yang mendefinisikan perilaku yang dianggap melanggar, seperti dalam KUHP yang mengatur tentang pencurian, yakni mengambil barang milik orang lain. Sementara itu, hukum formil berkaitan dengan penegakannya, yaitu prosedur atau cara bagaimana pelanggaran tersebut diadili dan dihukum.
“Di sisi lain, KUH Perdata misalnya, masih memiliki jejak-jejak kolonial dalam beberapa aspeknya,” jelas Bisar.
Bisar mengungkapkan bahwa sejak 2003 MK telah memiliki hukum acara sendiri yang mengatur tata cara persidangan, mulai dari pendaftaran perkara hingga penutupan dengan putusan. Namun, berbeda dengan hukum acara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), hukum acara MK tidak secara spesifik mengatur soal eksekusi putusan.
Lebih lanjut Bisar juga menjelaskan kewenangan MK mencakup empat fungsi utama: pengujian undang-undang, sengketa kewenangan lembaga negara, perselisihan hasil pemilu, serta pembubaran partai politik. Selain itu, MK juga memiliki satu kewajiban yaitu memproses pemakzulan Presiden atau Wakil Presiden. Dari semua kewenangan tersebut, pengujian undang-undang dan perselisihan hasil pemilu menjadi perkara yang paling sering diajukan, terutama karena sifatnya yang berulang.
Dalam proses pengujian undang-undang, Bisar menjelaskan ada tiga elemen utama yang perlu diperhatikan. Pertama, pihak-pihak yang terlibat, di mana pemohon mengajukan uji materi terhadap undang-undang yang dianggap bermasalah. Kedua, dokumen-dokumen yang diperlukan sebagai pendukung permohonan. Ketiga, tahapan-tahapan proses, di mana pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang turut dihadirkan untuk memberikan keterangan, meskipun mereka tidak dianggap sebagai pihak yang melawan pemohon
Usai mendengarkan penjelasan tersebut, para peserta juga bergegas mengunjungi Pusat Sejarah Konstitusi (Puskon) yang terletak di Lantai 5 dan 6 Gedung MK. Di Puskon, para peserta melihat mengenai sejarah konstitusi di Indonesia dan sejarah terbentuknya MK di Indonesia dengan suguhan yang menarik dan modern. Sejak diresmikan, Puskon MK kerap mendapat kunjungan dari berbagai instansi maupun berbagai kalangan masyarakat. Puskon MK memang terbuka untuk umum dan semua pengunjung yang datang tidak dipungut biaya.
Kunjungan ini diikuti oleh 20 peserta yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Barat, Jawa Timur, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Banten, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Nusa Tenggara Timur. Dalam program PKPA, salah satu materi yang diajarkan adalah terkait masyarakat adat, dengan fokus khusus pada peran Mahkamah Konstitusi.
Tujuan utama dari kunjungan ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang fungsi dan wewenang MK, sekaligus membekali peserta dengan pengetahuan yang berguna untuk proses pendaftaran judicial review di MK. Melalui kunjungan ini, para peserta diharapkan dapat memahami lebih baik bagaimana MK bekerja, serta dapat mengaplikasikan ilmunya dalam praktik advokat, terutama yang berkaitan dengan pengujian undang-undang dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Penulis: Fauzan F.
Editor: N. Rosi.