JAKARTA, HUMAS MKRI – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Pemohon I), Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (Pemohon II), dan Indonesia Corruption Watch (Pemohon III) mengajukan uji materiil Pasal 26 ayat (2) huruf d dan Pasal 70 ayat (3) Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) terhadap Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Sidang Pendahuluan terhadap Perkara Nomor 121/PUU-XXII/2024 ini digelar pada Kamis (19/9/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pasal 26 ayat (2) huruf d UU ASN menyatakan, “Untuk menyelenggarakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada kementerian dan/atau lembaga yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang: …. d. pengawasan penerapan Sistem Merit”. Pasal 70 ayat (3) UU ASN menyatakan, “Komisi Aparatur Sipil Negara yang ada pada saat berlakunya Undang-Undang ini, tetap melaksanakan tugas dan fungsinya sampai dengan ditetapkannya peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini.”
Di hadapan Majelis Sidang Panel yang diketuai oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, Pemohon melalui Shaleh Al Ghifari sebagai kuasa hukum menjabarkan dalil-dalil pokok permohonan. Pemohon I menilai dengan dihilangkannya pengawasan sistem merit, asas, dan kode etik serta kode perilaku ASN telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab hal demikian telah pula menghilangkan pengawasan independen atas netralitas penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2024.
Pemohon I, sambung Shaleh, melihat urgensi ini karena berdampak pada lemahnya sistem birokrasi yang profesional, berintegritas, dan memegang prinsip meritokrasi demi terwujudnya pemerintahan yang baik, profesional, terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh sebab itu, Pemohon I yang merupakan organisasi yang memiliki kepedulian terhadap demokrasi dan reformasi birokrasi dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia, termasuk untuk menghasilkan pemilihan umum yang bersih dan adil, jelas memiliki kepentingan langsung dengan keberadaan pasal-pasal yang Pemohon I dimohonkan untuk diuji ini.
Sementara bagi Pemohon II yang keberadaannya bertujuan memberikan kontribusi optimalisasi pelaksanaan otonomi daerah, kalangan dunia usaha, pemerintah pusat, dan masyarakat luas yang membutuhkan berpendapat asal-pasal a quo berpotensi berdampak pada terganggunya penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah yang bebas dan adil. Sebab dengan tidak terdapat sistem pengawasan yang independen, ASN dapat dengan mudah dimobilisasi untuk kepentingan partisan pemilihan umum. Oleh sebab itu, tindakan pelanggaran atas hal-hal demikian haruslah segera dicegah, ditanggulangi, dan ditindak dengan bijak.
Sedangkan bagi Pemohon III berpandangan dengan dihilangkannya pengawasan sistem merit, asas serta kode etik dan kode perilaku ASN dan dihilangkannya pengawasan independen atas netralitas ASN, akan berdampak pada dilanggengkannya praktik mobilisasi partisan ASN. Tujuannya tak lain untuk kepentingan politis yang berujung pada rekrutmen dan promosi ataupun demosi yang politically-motivated. Sehingga hal tersebut jauh dari prinsip meritokrasi dan good governance, yang berkaitan langsung dengan tujuan dibentuknya organisasi Pemohon III dan kerja-kerja pokok organisasi dari Pemohon III.
“Untuk itu, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan materi muatan Pasal 26 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ‘Untuk menyelenggarakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada kementerian dan/atau lembaga yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang: …. d. pengawasan penerapan Sistem Merit, asas, nilai dasar, serta kode etik dan kode perilaku ASN’; menyatakan materi muatan Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ‘Komisi Aparatur Sipil Negara tetap melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf d’,” tandas Dudy Agung Trisna saat membacakan Petitum para Pemohon.
Catatan dari Hakim
Hakim Konstitusi Daniel dalam nasihatnya menyebutkan terkait dengan legal standing para Pemohon perlu mempertegas pasal dan ayat dalam anggaran dasar organisasi yang berhak mengajukan permohonan ini di dalam dan luar pengadilan. Berikutnya Hakim Konstitusi Ridwan dalam catatan terhadap permohonan para Pemohon ini, mengatakan perlu para Pemohon untuk menambahkan kerugian konstitusional dari lima parameter yang ada dalam ketentuan kerugian konstitusional, sehingga dapat dirujuk satu demi satu serta perbandingan dengan negara lain.
“Apakah mungkin negara lain memiliki lembaga sejenis dan kemudian tidak ada tapi dihidupkan kembali, ini dikuatkan lagi pada dalil kerugian konstitusionalitas para Pemohon,” jelas Ridwan.
Sementara Hakim Konstitusi Guntur memberikan catatan tentang norma yang diujikan ingin menambahkan pada norma Pasal 26 ayat (2) huruf d agar lebih dilengkapi lagi dengan asas dan kode etik menjadi bagian dari tugas KASN. Untuk itu perlu elaborasi tentang KASN telah ada sebelumnya, namun kemudian tidak memfungsikannya dan mengalihkannya ke BKN.
“Masalahnya perlu dijelaskan kenapa konsep baru ini apakah perlu analisis SWOT-nya? Tepat yang mana itu dilakukan karena ini sama-sama dua organisasi. Agar MK dapat gambaran kebutuhan kembali ke KASN sangat urgent, kalau tidak KASN maka sistem merit tidak akan jalan. Jadi, ini perlu dieksplor lagi,” jelas Guntur.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Guntur mengatakan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Selambat-lambatnya naskah perbaikan dapat diserahkan pada Rabu, 2 Oktober 2024 pukul 15.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Untuk selanjutnya Mahkamah akan mengagendakan sidang kedua berupa mendengarkan pokok-pokok perbaikan para Pemohon. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina