JAKARTA, HUMAS MKRI – Diskusi Literasi Konstitusi (Diksi) Jilid 3 kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) bekerja sama dengan Edulaw Project pada Kamis (19/9/2024) di Perpustakaan MK, Gedung 2 MK, Jakarta. Kali ini, dua penulis buku hadir sebagai narasumber, yakni Panitera Konstitusi Mardian Wibowo yang menulis buku berjudul “Kebijakan Hukum Terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi” dan Asisten Ahli Hakim Konstitusi Zaka Firma Aditya yang menulis buku “Asas Retroaktif Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Teori dan Praktik”.
Pada kesempatan pertama, Mardian menyampaikan ketika mengajukan uji formil, MK selalu berpedoman pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Lantas, mengapa MK tidak berpedoman pada UUD 1945, bukan norma dalam UUD 1945? Mardian menjelaskan MK tetap menggunakan norma dalam Konstitusi, tetapi norma dalam Konstitusi tidak mengatur detail cara membentuk peraturan perundang-undangan.
“Jika MK tetap memaksakan diri menggunakan norma dalam Konstitusi tidak adakan cukup. MK akan kekurangan norma untuk batu uji karena Konstitusi tidak mengatur detail dan teknis. Karena dalam Konstitusi, tidak akan Anda temukan rapat paripurna harus berapa kali, kuorum berapa, (Konstitusi) tidak ada, maka MK memakai undang-undang turunannya langsung,” ujar Mardian dalam acara yang dimoderatori oleh Melly Novianti dari Edu Law Project.
Kemudian Mardian menyebut norma Konstitusi yang eksplisit dan tidak bisa ditafsir lain lagi, tidak akan memunculkan kebijakan hukum terbuka. Kebijakan hukum terbuka baru akan muncul ketika ada kekosongan aturan dan norma dalam UUD 1945 yang tidak jelas. Kebijakan hukum terbuka akan mengandung arti baik, jika diterapkan sebagai pengisi kekosongan hukum.
Mardian menyebut kebijakan hukum terbukan memiliki sifat kebebasan manasuka (arbitrary). Salah satu dampak buruk dari kebijakan hukum terbuka adalah undang-undang yang dibuat akan melanggar hierarki norma. Kedua, kebijakan hukum terbuka akan memunculkan undang-undang yang imun dari pengujian konstitusionalitas.
“Karena sifatnya manasuka dan tidak diatur oleh Undang-Undang Dasar, maka undang-undang ini tidak boleh diuji. Kemudian berpotensi memunculkan kesewenang-wenangan pembentuk undang-undang dengan dalil tidak diatur dalam konstitusi karena pembentuk undang-undang akan menjadi penguasa tertinggi, kembali ke konteks UUD yang lama, supremasi parlemen,” jelas Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya tersebut.
Sifat Retroaktif dalam Putusan MK
Dalam kesempatan yang sama, Asisten Ahli Hakim Konstitusi Zaka Firma Aditya menyampaikan asas retroaktif dalam putusan MK. Zaka mengungkapkan Putusan MK hampir selalu bersifat prospektif sesuai dengan Pasal 47 UU MK. Pasal 47 UU MK menyatakan, “Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”. Namun ternyata MK pernah memutus putusan yang bersifat retroaktif.
Zaka mencontohkan putusan perselisihan hasil Pemilu pada 2009 lalu, yakni Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 yang menguji UU KPK mengenai masa jabatan pimpinan KPK. Pemohon perkara tersebut adalah Nurul Ghuffron yang masih menjabat sebagai pimpinan KPK kala itu.
“MK menaikkan masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun. Bagi saya, putusan ini bersifat retroaktif karena berlaku untuk pimpinan KPK existing, bukan pimpinan KPK yang akan datang,” ujar Zaka.
Zaka juga mengemukakan sejumlah alasan MK memutus putusan yang retroaktif. Salah satunya adalah untuk melindungi hak konstitusi warga negara.
“Ada hak-hal fundamental yang perlu dilindungi. Mungkin bagi teman-teman sekalian apa sih yang perlu dilindungi. Namun di mata hakim, memiliki sense of justice tersendiri mengenai mana-mana yang perlu dilindungi,” ujarnya.
Baca juga:
MK Gelar Diskusi Perdana Literasi Konstitusi
Diksi Seri 2 Bahas Politik Hukum Yudisial dan Persoalan Penyandang Disabilitas
Tanya Jawab
Dalam sesi tanya jawab, Dian yang merupakan Mahasiswa Universitas Hasanudin yang hadir langsung mempertanyakan apakah perppu merupakan bentuk kebijakan hukum terbuka. Atas pertanyaan tersebut, Mardian menjawab secara kategori, Perppu berbeda dengan undang-undang
“Perppu punya jalur sendiri. Perppu memang setara dengan undang-undang, tetapi posisinya tetap peraturan pemerintah di bawah undang-undang. Tapi dalam keadaan tertentu diperlakukan seperti undang-undang dengan syarat. Tapi syaratnya bukan syarat kebijakan hukum terbuka, namun syarat yang sudah diatur dalam undang-undang,” jawab Mardian.
Sementara Edwin Chandra yang merupakan Mahasiswa Universitas Tarumanegara yang mempertanyakan landasan hukum dan prosedur penerapan asas retroaktif dalam Putusan MK. Ia juga menyinggung mengenai Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang langsung berlaku usai dibacakan. Menjawab hal ini, Zaka mengungkapkan menurutnya seharusnya Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 bersifat prospektif, bukan retroaktif.
“Putusan MK, mau yang prospektif maupun retroaktif sebenarnya landasan hukumnya tidak ada. Putusan MK itu hanya bersifat final dalam Pasal 24C UUD 1945,” tandas Zaka.
Untuk diketahui, sebagai bentuk upaya dalam dalam meningkatkan budaya membaca di Indonesia, MK menghadirkan sebuah kegiatan bertajuk Diskusi Literasi Konstitusi. MK melalui Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Konstitusi dan Pengelolaan Perpustakaan (Puslitka) bekerja sama dengan Edu Law Project dan Rajagrafindo Persada menggelar kegiatan tersebut sebagai wadah mempromosikan Perpustakaan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu rujukan referensi di bidang hukum dan konstitusi. Kegiatan ini digelar setiap bulannya dan dapat diikuti oleh peserta secara luring maupun daring. (*)
Penulis: L.A.P
Editor: Lulu Anjarsari P.