JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Arsul Sani menerima kunjungan silaturahmi dan dialog kebangsaan dengan Forum Alumni Australia-Indonesia Muslim Exchange Program (AIMEP), pada Rabu (18/9/2024), di Gedung I Mahkamah Konstitusi.
Mengawali dialog, Arsul mengungkapkan putusan MK banyak mendapat sorotan seperti putusan ultra petita, yaitu melebihi apa yang diminta. “Dulu saya ikut mengkritisi MK juga ketika berada di Komisi III DPR RI, tapi barangkali saya mengkritisi sesuatu saya mempelajari juga bagaimana lembaga peradilan konstitusi di negara-negara demokrasi,” ujar Arsul.
Arsul mengutarakan, di mana pun, putusan lembaga peradilan yang terkait dengan produk politik pasti akan menimbulkan kontroversi, atau dianggap sebagai kontroversial oleh lembaga lainnya. Ia memberikan perbandingan, kewenangan Pengujian Undang-Undang (UU) di Australia yang dijaksanakan oleh the High Court of Australia, Mahkamah Agung Amerika Serikat, tidak lepas dari kontroversi. Arsul mencontohkan bagaimana ketika the High Court of Australia memutus memberikan perlindungan konstitusional dengan mengakui hak ulayat masyarakat Aborigin dan masyarakat Torres Strait Islander Australia dengan menghapus doktrin terra nullius atau doktrin tanah kosong yang mendapatkan reaksi dari politisi Australia saat itu.
Berikutnya, Arsul mengatakan, politik di Australia sebagaimana negara-negara bekas jajahan Inggris, saat itu tidak memiliki banyak partai politik, saat itu melalui parlemen membuat produk hukum yang melarang iklan politik di televisi secara bebas, dengan tujuan agar partai yang berkuasa tidak menjadi dominan. Namn, UU itu kemudian digugat oleh tujuh stasiun televisi di Australia ke The High Court of Australia, dan permohonan itu dikabulkan dengan pertimbangan melanggar kebebasan berekspresi. Selanjutnya Arsul menjelaskan putusan MK yang dinilai inkonsisten.
“Lagi-lagi hal itu juga bukan hal yang menjadi monopoli putusan MK Indonesia saja, di Amerika di US Supreme Court sering menerima pengujian UU, atau mempersoalkan hak konstitusional melalui constitusional complain dalam kasus capital punishment atau dead penalty pernah berbalik dalam waktu tiga tahun saja,” ujar Arsul. Menurutnya, karena angka kriminalitas naik tidak lama setelah setelah putusan awal, MA Amerika yang semula mengatakan hukuman mati inkonstitusional berbalik memutus bahwa hukuman mati konstitusional.
Pada akhirnya, kata Arsul, putusan MK di mana pun memang akan selalu menimbulkan kontroversi, atau dikontroversikan oleh cabang kekuasaan lainnya. “Saya kira hal itu akan terus, dan tentu yang menggembirakan MK menjadi tumpuan harapan ketika elemen masyarakat sipil merasa aspirasinya diterima oleh cabang kekuasaan lainnya, larilah ke MK dalam bentuk menguji UU,” tegasnya.
Menjawab pertanyaan mengenai model putusan MK yang memberikan tafsir konstitusi, Arsul mengungkapkan, dahulu pemohon banyak yang meminta suatu norma untuk dibatalkan secara keseluruhan, namun seiring dengan berjalannya waktu, MK banyak membuat putusan mengabulkan sebagian. Sehingga pemohon saat ini banyak yang meminta MK untuk memberikan penafsiran konstitusi. Dengan kondisi itu saat ini banyak pasal yang sama diajukan pengujian kembali ke MK dengan alasan dan dasar pengujian yang berbeda.
“Sebenarnya kalau kita pelajari, open legal policy, kewenangan terbuka dari pembentuk dari UU bukan doktrin yang saklek, sebenarnya MK sendiri juga sudah pernah mengatakan doktrin itu dapat diterabas jika kewenangan pembentuk UU itu disalahgunakan,” kata Arsul
Arsul mengatakan saat ini dirinya selalu berpendapat berdasar keilmuan yang dimilikinya. “Saya banyak bergeser juga ketika di MK, tapi banyak juga pendapat saya yang tidak bergeser ketika masih di DPR dan saat ini di MK. Kalau dilihat pendapat saya sebagai orang hukum, karena saya ingin menunjukan juga ketika saya ngomong suatu masalah hukum sebagai parlementarian saya ngomong bukan karena political interest, tapi atas keyakinan keilmuan saya, pandangan saya terhadap suatu isu seperti itu, jadi pendapat saya berubah bukan karena posisi saya berubah,” ujar Arsul.
Berikutnya, terhadap pertanyaan mengenai perlindungan terhadap minoritas dan constitutional complaint, Arsul mengatakan bahwa dirinya memposisikan diri sebagai penyeimbang, karena harus ada keseimbangan antara kebebasan seseorang dengan orang lainnya, kebebasan suatu kelompok terhadap kelompok lainnya.
Berikutnya, dalam hal hubungan antar-hakim konstitusi dalam membuat putusan, Arsul mengungkapkan setiap hakim konstitusi bebas menyampaikan pokok pikirannya dalam Rapat Permusyawaratan Hakim.
Dalam kesempatan itu, Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Pan Mohamad Faiz, yang turut hadir dalam kesempatan itu menambahkan MK juga memberikan perlindungan hak konstitusional kepada perempuan dan anak, hak pilih penyandang disabilitas, penganut aliran kepercayaan, dan perlindungan konstitusional berbagai kelompok masyarakat lainnya. Sementara mengenai kewenangan constitutional complaint, Faiz mengatakan ide itu telah banyak dilontarkan meski ada ketidaksetujuan karena kekhawatiran akan menimbulkan over laping kewenangan dengan PTUN jika kewenangan itu diberikan kepada MK.
Selain itu, harus dipikirkan pula kesiapan struktur dan infrastruktur yang ada di MK karena jika berkaca pada MK Korea saat ini menangani 3 ribu perkara komplain konstitusi dalam satu tahun, MK Jerman dalam setahun menangani 6 ribu perkara komplain konstitusi, sementara MK Turkiye dalam dua tahun ini menerima 4 ribu perkara komplain konstitusi.
Sebelumnya, Yanuardi Syukur, Ketua Forum Alumni AIMEP dalam pengantarnya mengatakan, forum alumni yang terbentuk pada 2017 beranggotakan sekitar hampir 300 orang. Dan untuk alumni yang berasal dari Indonesia berjumlah lebih 100 orang. Yanuar mengatakan tujuan dari kunjungan ini agar alumni AIMEP mendapatkan pandangan mengenai MK yang selama ini tidak banyak diketahui banyak oleh publik. Yanuar berharap dari pertemuan ini dapat menghasilkan kegiatan lanjutan kolaborasi MK dengan Forum Alumni AIMEP. (*)
Penulis: Ilham Wiryadi M.
Editor: Lulu Anjarsari P.