JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (18/9/2024) di Ruang Sidang MK. Perkara Nomor 114/PUU-XXII/2024 ini diajukan Antonius Nicholas Stephanus Kosasih seorang mantan Direktur Investasi PT Taspen (Persero).
Dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan bahwa dirinya selaku Direktur Investasi PT Taspen, diduga melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal a quo, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dugaan tersebut terkait dengan investasi PT Taspen (Persero) tahun anggaran 2019 yang dikelola oleh PT Insight Investments Management (PT IIM).
Penetapan tersangka ini diduga berdasarkan kebijakan optimalisasi untuk menyelamatkan aset PT Taspen (Persero) terkait Sukuk Ijarah PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk. (PT TPSF) yang berpotensi pailit. Kebijakan tersebut telah melalui analisis tim internal dan tim eksternal independen serta persetujuan Rapat Direksi. Kebijakan ini diambil sebagai langkah strategis dan bersifat diskresioner (freies ermessen) untuk menghindari kerugian yang lebih besar bagi PT Taspen (Persero) dan negara. Namun, kebijakan ini justru dianggap sebagai tindak pidana korupsi karena dinilai merugikan keuangan negara.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, Alex Argo Hernowo selaku kuasa Pemohon menyampaikan pihaknya melakukan perbaikan di beberapa sistematika penulisan permohonan dan penambahan terhadap pasal-pasal sebagaimana yang diberikan saran dari sidang sebelumnya. “Penambahan pasal kami masukkan terutama pada kewenangan MK yaitu memasukkan Pasal 7 ayat (1),” jelas Alex.
Selanjutnya, Alex juga menyebut, terdapat penambahan pada legal standing dengan menjelaskan kedudukan Pemohon sebagai WNI pada angka 2. “Lalu di angka 3 kami jabarkan kembali terkait dengan hak konstitusional dan kerugian konstitusional serta tentang kausalitas antara pemberlakuan UU a quo dengan UUD dan terakhir terkait dengan adanya kemungkinan apabila permohonan ini dikabulkan maka tida akan terjadi lagi kerugian konstitusional,” sebut Alex.
Baca juga: Mantan Direktur PT Taspen Uji UU Tipikor ke MK
Sebelumnya, Pemohon menilai penetapan tersangka terhadap tindakan diskresioner ini menunjukkan adanya interpretasi yang terlalu luas terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, akibat tidak diaturnya secara tegas perbuatan yang dilarang (actus reus) dalam kedua pasal tersebut. Kemudian, menurut Pemohon adanya kontradiksi putusan pengadilan menjadi salah satu dasar penting dalam permohonan ini. Selain perdebatan yang terus berlanjut terkait permohonan judicial review terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, ditemukan juga putusan pengadilan yang saling bertentangan dalam penerapan kedua pasal tersebut. Isu kontradiksi ini sering kali muncul dalam kasus-kasus yang mempertanyakan apakah tindakan terdakwa merupakan perbuatan koruptif, risiko dari pengambilan kebijakan yang kurang tepat, atau sekadar pelanggaran administratif.
Menurutnya, menyatakan pasal a quo tidak memiliki kekuatan hukum mengikat tidak berarti bahwa perbuatan korupsi tidak dapat dihukum, karena semua perbuatan tindak pidana korupsi sebenarnya telah diuraikan secara jelas dalam pasal-pasal lainnya di UU Tipikor. Sehingga, Pemohon meminta MK untuk menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, beserta perubahannya pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon juga memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kedua pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional yang menjamin kepastian hukum yang adil dan perlindungan hak asasi manusia.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan