JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) pada Rabu (18/9/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Agenda sidang hari ini yakni pemeriksaan perbaikan permohonan Perkara Nomor 112/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Aniek Trisilawati, Indri Marini Akbar, Donny, dan Idha Achira Handajanti. Para Pemohon merasa dirugikan akibat proses kepailitan PT. Crown Porcelain dan PT. Cakrawala Bumi Sejahtera, pengembang Apartemen Point 8. Mereka meminta agar proses kepailitan bisa lebih cepat dan transparan melalui pengujian sejumlah pasal dalam UU Kepailitan dan PKPU.
Para Pemohon melalui kuasa hukumnya mengatakan telah memperbaiki permohonan sesuai arahan majelis hakim pada sidang sebelumnya. Antara lain, perbaikan pada bagian kewenangan MK, kedudukan hukum para Pemohon (legal standing) serta petitum.
“Pada bagian kewenangan MK, kami menambahkan landasan yuridis terkait dengan UU Kekuasaan Kehakiman. Kemudian, untuk bagian legal standing, kami ajukan perubahan…,” ujar Heriyanto selaku kuasa hukum para Pemohon.
Selanjutnya, kuasa hukum lainnya, Ainul Ghurri, menyampaikan perbaikan yang berkaitan dengan proses pemberesan harta pailit setelah putusan Mahkamah Agung Nomor 119 Tahun 2020. Ia juga menambahkan perbaikan soal kerugian hak konstitusional akibat tidak adanya batasan waktu bagi kurator dalam menyelesaikan pailit. Hal ini tidak hanya merugikan hak konstitusional kreditur, tetapi juga hak debitur pailit, karena setelah pernyataan pailit, terdapat beberapa tindakan hukum yang dapat dilakukan terhadap debitur, salah satunya adalah penahanan debitur pailit.
“Perbaikan selanjutnya ada pada diktum 65 yang dimana apabila terjadi hambatan yang dialami kurator melakukan pemberesan harta pailit, kurator dapat mengajukan penambahan kurator yang dimana hal tersebut diatur dalam Pasal 71 UU Kepailitan,” jelasnya.
Baca juga:
Pembeli Apartemen Uji Batas Waktu Penyelesaian Harta Pailit
Sebagai tambahan informasi, sejumlah pembeli apartemen menguji Pasal 74 ayat (1) dan ayat (3) Juncto Pasal 185 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para Pemohon Perkara Nomor 112/PUU-XXII/2024 ini yakni Aniek Trisilawati, Indri Marini Akbar, Donny, dan Idha Achira Handajanti. Para Pemohon merasa dirugikan akibat proses kepailitan PT Crown Porcelain dan PT Cakrawala Bumi Sejahtera, selaku pengembang Apartemen Point 8 yang terletak di Jalan Daan Mogot Km. 14, Cengkareng, Jakarta Barat. Mereka meminta agar proses kepailitan bisa lebih cepat dan transparan.
Dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (2/9/2024), Para Pemohon yang diwakili oleh Heriyanto mengatakan para Pemohon hingga detik ini tidak mengetahui batas akhir pelaksanaan tugas Tim Kurator debitor pailit PT Crown Porcelain dan debitor pailit PT Cakrawala Bumi dalam melakukan pemberesan harta pailit. Menurut para Pemohon, kejelasan waktu dalam pemberesan boedel pailit seharusnya dimulai dengan penetapan batasan waktu yang spesifik untuk setiap tahap proses kepailitan.
Batasan waktu yang tegas tersebut akan menghindarkan penafsiran yang ambigu dan memberikan panduan yang jelas bagi semua pihak yang terlibat. Ketidakpastian tersebut dapat menimbulkan kebingungan, kecemasan, dan bahkan memperpanjang tekanan finansial yang mungkin dihadapi oleh debitur, terutama jika ada aset yang tertunda untuk dijual atau dibagi.
Dalam petitum permohonan yang telah telah diperbaiki, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 74 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan, “Kurator harus menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan” adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Kurator harus menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan dan harus menyelesaikan pemberesan harta pailit serta seluruh pelaksanaan tugasnya dengan jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak pernyataan putusan pailit diucapkan”.
Kemudian para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 74 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan, “Hakim Pengawas dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hakim Pengawas hanya dapat memperpanjang jangka waktu laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) bulan.”
Selanjutnya meminta MK menyatakan Pasal 185 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan, “Semua benda yang tidak segera atau sama sekali tidak dapat dibereskan maka Kurator yang memutuskan tindakan yang harus dilakukan terhadap benda tersebut dengan izin Hakim Pengawas” adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Semua benda yang tidak segera atau sama sekali tidak dapat dibereskan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun maka Kurator yang memutuskan tindakan yang harus dilakukan terhadap benda tersebut dengan izin Hakim Pengawas.”
Penulis: Utami Argawati.
Editor: N. Rosi.
Humas: Fauzan F.