JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan dalam perkara Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) terhadap UUD 1945. Sidang pengucapan Putusan Nomor 79/PUU-XXII/2024 yang diajukan Herifuddin Daulay yang berprofesi sebagai Guru ini dilaksanakan pada Kamis (12/9/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.
Mahkamah dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengatakan, setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama alasan-alasan permohonan (posita), terlepas ada atau tidaknya persoalan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian, menurut Mahkamah, pada dasarnya sesuai dengan sistematika, perbaikan permohonan dapat dikatakan telah sesuai dengan format pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021.
Walakin, sekalipun telah disusun dan memuat sistematika permohonan secara benar, penilaian perihal keterpenuhan syarat formal suatu permohonan tidak hanya sampai pada keterpenuhan sistematika an sich. Dalam hal ini, Mahkamah juga akan menilai keterpenuhan dan ketepatan isi/substansi dari masing-masing sistematika dimaksud. Seperti dalam permohonan awal, Pemohon hendak menguji Pasal 12 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 15 ayat (7); Pasal 23 ayat (1), Pasal 24 ayat (1) huruf a, Pasal 24 ayat (7) UU 21/2023 terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Namun dalam perbaikan Permohonan Pemohon mengubah pasal-pasal yang diuji yakni menjadi Pasal I Angka 5 Pasal 15 ayat (7), Pasal I Angka 9 Pasal 24 ayat (1) huruf a, Pasal I Angka 9 Pasal 24 ayat (2) huruf b, Pasal I Angka 9 Pasal 24 ayat (7), Pasal I Angka 10 Pasal 24A ayat (5), Pasal I Angka 10 Pasal 24A ayat (6), Pasal I Angka 17 Pasal 42 ayat (6) UU 21/2023 terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28A UUD NRI Tahun 1945 tanpa memberikan dan membangun argumentasi alasan yang jelas mengapa Pemohon mengubah pasal-pasal yang diuji tersebut.
Kemudian, sambung Guntur, Pemohon juga tidak menguraikan argumentasi hukum yang jelas dan memadai (komprehensif) dan mendalam perihal pertentangan antara norma Pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya yakni Pasal I Angka 5 Pasal 15 ayat (7), Pasal I Angka 9 Pasal 24 ayat (1) huruf a, Pasal I Angka 9 Pasal 24 ayat (2) huruf b, Pasal I Angka 9 Pasal 24 ayat (7), Pasal I Angka 10 Pasal 24A ayat (5), Pasal I Angka 10 Pasal 24A ayat (6), Pasal I Angka 17 Pasal 42 ayat (6) UU 21/2023 yang merupakan ketentuan umum (general provision) dari undang-undang a quo terhadap pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD NRI Tahun 1945 khususnya Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), dan Pasal 28A. Sehingga sulit bagi Mahkamah untuk dapat mengetahui dan memahami secara jelas pertentangan antara norma dalam pasal yang diuji terhadap UUD NRI Tahun 1945. Sebab, dalam positanya, Pemohon justru lebih banyak menguraikan mengenai pendanaan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang berasal dari APBN sehingga menyebabkan kenaikan harga beras, serta pembangunan IKN tidak dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tanpa disertai dengan uraian lebih lanjut mengenai pertentangannya.
Lebih lanjut Mahkamah mengatakan, Pemohon juga menyangkutpautkan permohonan a quo dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Mei 2022 yang menurut Pemohon putusan Mahkamah tersebut bersifat subjektif dan mengabaikan sama sekali fakta dan nilai yang terdapat dalam permohonan Pemohon, serta Pemohon menyatakan bahwa norma a quo tidak memenuhi maksud Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, tanpa memberikan penjelasan/argumentasi lebih lanjut mengenai pertentangan norma a quo yang tidak memenuhi syarat konstitusionalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Sehingga, dengan uraian permohonan tersebut menyebabkan permohonan Pemohon tidak fokus dan sulit untuk dapat dipahami oleh Mahkamah dan berakibat permohonan Pemohon menjadi tidak jelas atau kabur (obscuur).
Selain itu, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon adalah tidak jelas atau kabur (obscuur) karena tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Oleh karena posita dan petitum tidak sesuai dengan Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021, Mahkamah berpendapat, permohonan a quo tidak jelas atau kabur (obscuur). Dengan demikian, terhadap kedudukan hukum dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
“Terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya,” ujar Guntur.
Baca juga:
Seorang Guru Kembali Persoalkan Konstitusionalitas Penggunaan APBN untuk IKN
Herifuddin Daulay Perbaiki Permohonan Uji Materi UU IKN
Sebagai tambahan informasi, Herifuddin Daulay sebelumnya pernah mengajukan keberatan berkenaan pemindahan IKN dan telah diputus MK. Dalam Putusan Nomor 40/PUU-XX/2022, MK menyatakan “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima”.
Ia kemudian mengajukan permohonan lagi ke MK yang diregistrasi dengan Nomor 79/PUU-XXII/2024. Dalam permohonan kali ini, Pemohon menguji Pasal 12, Pasal 15 ayat (7), Pasal 23 ayat (1), Pasal 24 ayat (1) huruf a, Pasal 24 ayat (7) UU IKN. Menurutnya, walau bertema sama tentang pemindahan IKN, permohonan kali ini harus dipandang baru dan belum pernah diajukan mengingat risalah UU yang diajukan untuk diuji bukanlah UU 3/2022 melainkan UU 21/2023. Terlebih pasal-pasal yang di uji merupakan materi baru.
“Pokok materi pengujian UU 3 /2022 nomor perkara juga oleh Pemohon a quo adalah bahwa Penggunaan APBN akan berdampak signifikan terhadap proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan negara,” jelas Herifuddin dalam persidangan pendahuluan di MK pada Senin (29/7/2024).
Pemohon dalam Pemohonnya menguraikan bahwa ia merasa penggunaan APBN memiliki dampak signifikan terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ia menilai, MK sebaiknya menunda pelaksanaan Pasal UU yang diuji hingga putusan akhir terhadap perkara ini.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Fauzan F.