JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan permohonan perkara yang diajukan Djohansjah Marzoeki, seorang dokter/guru besar emeritus ilmu kedokteran bedah plastik Universitas Airlangga, pada Kamis (12/9/2024). Sidang kedua untuk Perkara Nomor 111/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK ini beragenda pemeriksaan perbaikan permohonan pengujian Pasal 451, Pasal 272 ayat (2), Pasal 1 angka 26, Pasal 272 ayat (5), Pasal 421 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).
Muhammad Joni selaku kuasa hukum Djohansjah Marzoeki (Pemohon) dalam persidangan menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan. Joni menyebutkan Pemohon telah memperkuat dalil dengan menambahkan lima syarat kerugian konstitusional beserta uraian kerugian konstitusional yang diakibatkan dari keberlakuan norma yang diujikan ini. Berikutnya Pemohon juga telah menyertakan beberapa kasus konkret yang mendukungnya. Pemohon juga telah memperkuat kedudukan hukumnya yang merupakan perseorangan warga negara dan telah mengalami kerugian atas keberlakuan pasal-pasal yang diujikan tersebut.
“Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 272 ayat (2) UU Kesehatan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “difasilitasi negara tanpa intervensi dan benturan kepentingan”, sehingga Pasal 272 ayat (2) UU Kesehatan menjadi berbunyi, “Kolegium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan perannya bersifat independen dan difasilitasi negara tanpa intervensi dan benturan kepentingan,” ucap Joni membacakan petitum permohonan di hadapan Majelis Sidang Panel yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur.
Baca juga:
Mempertahankan Eksistensi Kolegium sebagai Academic Body yang Independen
Pada Sidang Pendahuluan di MK, Selasa (27/8/2024) lalu Muhammad Joni selaku kuasa hukum Pemohon mengatakan pasal-pasal yang diujikan menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Akibat diberlakukannya norma hukum kolegium (baru) yang termuat pada Pasal 451 UU Kesehatan, maka legalitas kolegium-kolegium yang sudah ada menjadi hilang karena dasar pengakuannya berubah menjadi tidak sah sebagai lembaga ilmiah. Selain itu, pasal tersebut menjadikan kolegium yang legitimated menjadi illegitimated dengan membuat aturan hukum yang represif, otoriterian, sewenang-wenang, tanpa ada argumentasi hukum.
Kemudian terkait dengan Pasal 421 ayat (2) huruf b, Pemohon menilai pasal tersebut telah merugikannya karena memberi wewenang kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk melakukan pengawasan etika dan disiplin profesi. Seharusnya hal demikian menjadi domein profesi dan bukan domein dari pemerintah.
Sebagai lembaga ilmiah kolegium bertugas mengampu ilmu kedokteran, namun menjadi tidak berdasar apabila dinormakan sebagai alat kelengkapan pemerintah karena (akan) dikendalikan penguasa politik ataupun lembaga pemerintah. Jadi, Pemohon berkepentingan atas legitimasi kolegium yang independen dengan keberadaan dan fungsinya, yang harus mencerminkan kaidah ilmiah dan jati diri ilmu kedokteran. Pemohon berpendapat, keberadaan Kolegium sebagai academic body dan bersifat independen, maka keberadaan dan fungsinya dijamin, dihormati, dan dilindungi yang bukan menjadi bagian dari kapasitas sebagai lembaga pemerintah. Sehingga tugas, fungsi, dan wewenang Kolegium tidak konstitusional jika dibentuk oleh Menteri Kesehatan dan menjadi bagian dari alat kelengkapan lembaga eksekutif yang diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP 28/2024) sebagaimana termuat pada Pasal 272 ayat (5) UU Kesehatan.
Dalam petitum, Pemohon antara lain meminta MK menyatakan Pasal 272 ayat (2) UU Kesehatan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “difasilitasi negara tanpa intervensi dan benturan kepentingan”. Sehingga Pasal 272 ayat (2) UU Kesehatan menjadi berbunyi “Kolegium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan perannya bersifat independen dan difasilitasi negara tanpa intervensi dan benturan kepentingan”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.