JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Perkara Nomor 109/PUU-XXII/2024 perihal Permohonan Pengujian Pasal 72 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), Selasa (10/9/2024) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan perkara ini diajukan oleh seorang dosen sekaligus advokat bernama Rega Felix.
Adapun Pasal 72 ayat (5) UU Dikti menyatakan, “Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan akademik profesor atas usul Perguruan Tinggi.”
Dalam sidang dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Rega menyampaikan terdapat perubahan dalam permohonan yang fundamental, yakni penambahan batu uji Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sesuai nasihat Majelis Hakim.
“Ternyata penambahan batu uji pasal 28D ayat (1) UUD 1945 membuka perspektif yang sangat luas dan mendalam dalam memahami pertentangan norma pasal yang diuji,” ujarnya.
Menurut Rega, batu uji ini membuka dan menambah perspektif dimana menguji suatu norma yang terkait dengan norma dalam UU lainnya dan bagaimana menteologiskan suatu norma dengan norma lainnya untuk mencapai kepastian hukum. Penambahan batu uji tersebut juga otomatis menambah bagian legal standing karena terdapat kerugian konstitusional yang bertambah.
“Sesuai dengan nasihat Majelis Hakim. Pemohon juga memperkuat kedudukan hukum dengan menegaskan kedudukan Pemohon sebagai dosen dengan mencantumkan NIDN (Nomor Induk Dosen Nasional). Selain itu, Pemohon menambahkan bukti tulisan Pemohon di Jurnal yang telah terindeks dan disitasi. Pemohon juga menambahkan mata kuliah yang diajarkan dengan melampirkan data dari pangkalan data Dikti,” ungkap Rega.
Baca juga:
Gelar Profesor Kehormatan dalam UU Dikti Dipertanyakan
Sebelumnya, MK menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 109/PUU-XXII/2024 perihal Permohonan Pengujian Pasal 72 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), Senin (26/8/2024). Permohonan perkara ini diajukan oleh seorang dosen sekaligus advokat bernama Rega Felix.
Adapun Pasal 72 ayat (5) UU Dikti menyatakan, “Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan akademik profesor atas usul Perguruan Tinggi.”
Menurut Pemohon, frasa “kompetensi luar biasa” perlu ditafsirkan secara konstitusional oleh MK. Pemohon juga menegaskan bahwa ia tidak menyangkal adanya pihak non-akademik dengan “kompetensi luar biasa” seperti yang diatur dalam pasal tersebut. Namun, Pemohon berpendapat bahwa hal ini perlu dibuktikan secara akademis dan dapat diuji melalui karya nyata, bukan hanya berdasarkan “ketokohan” atau “jabatan”.
“Makna "kompetensi luar biasa" harus diberikan batasan minimum melalui tafsir konstitusional. Jangan sampai perguruan tinggi secara asal-asalan mengusulkan gelar profesor dan menteri mengangkat secara asal-asalan,” jelasnya.
Untuk itu, pada petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 72 ayat (5) UU Dikti inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai “Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa yang dibuktikan dengan karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa di bidangnya dan mendapat pengakuan internasional pada jenjang jabatan akademik profesor atas usul Perguruan Tinggi.”
Penulis: Utami Argawati.
Editor: N. Rosi.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.