JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Pasal 212 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), pada Rabu (04/09/2024). Sidang lanjutan untuk gabungan dua perkara yaitu Perkara Nomor 49/PUU-XXII/2024 dan Perkara Nomor 50/PUU-XXII/2024 ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi.
Agenda sidang yaitu mendengar keterangan DPR dan keterangan Ahli Pemerintah. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lana dalam persidangan menyatakan diaturnya persyaratan profesi guna berpraktek profesi bagi lulusan sarjana gizi melalui pasal a quo sejalan dengan pentingnya peran profesi ahli gizi dalam melaksanakan tugas secara professional. “Permasalahan yang disampaikan oleh Pemohon yang menyatakan tidak ada kewajiban untuk melaksanakan pendidikan sebelumnya adalah keliru,” ujarnya.
Mahasiswa pendidikan profesi yang lulus kompetensi akan memperoleh sertifikat profesi yang diterbitkan oleh perguruan tinggi. Hal sejalan ini dengan Pasal 43 UU 12/2012 (UU Dikti) yang menyatakan sertifikat profesi merupakan pengakuan praktik profesi yang diperoleh lulusan pendidikan profesi.
“Kewajiban ini berlaku bagi mahasiswa yang telah menyelesaikan Pendidikan program profesi,” sebut Emanuel.
Selanjutnya Emanuel menanggapi dalil para Pemohon yang menyatakan tidak difasilitasinya pengajuan STR oleh Konsil Tenaga Kesehatan melalui Kementerian Kesehatan. Emanuel mengatakan para Pemohon dalam hal ini tidak dapat mengajukan STR di konsil dikarenakan para Pemohon bukan merupakan mahasiswa dan/atau lulusan pendidikan profesi sehingga tidak ada hak untuk mendapatkan STR.
Sementara Djoko Santoso selaku Ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah mengatakan lulusan sarjana atau yang sederajat dapat memperoleh sertifikat profesi. Untuk memperoleh sertifikat profesi seseorang harus mengikuti program profesi.
Dikatakan Djoko, program profesi merupakan program pascasarjana (Level KKNI 7), artinya program setelah sarjana atau yang sederajat. Surat tanda registrasi profesi bagi lulusan program profesi dapat diperoleh setelah lulus uji kompetensi profesi sehingga memperoleh sertifikat kompetensi.
Pada kesempatan yang sama, Megawati Santoso, Anggota Dewan Pembina Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Tinggi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia yang juga merupakan Ahli Pemerintah, menegaskan uji kompetensi dilakukan untuk menyatakan apakah tenaga kesehatan kompeten atau tidak kompeten dalam melaksanakan pekerjaan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya. Uji ini tidak hanya menguji penguasaan pengetahuan (kognitif) tetapi juga menguji keterampilan dan sikap kerja ketika tenaga kesehatan melakukan layanan kepada klien/pasien.
“Uji kompetensi tidak seharusnya dilakukan oleh pendidikan akademik karena lulusan akademik bisa memilih jalur pekerjaan yang berbeda-beda,” jelasnya. Sehingga kalau dilakukan satu ujian kompetensi di sana menjadi tidak sesuai dan mengunci kelulusan untuk mengikuti exit exam.
Berikutnya, keterangan Tony Arjuna, Ahli dari Presiden (Pemerintah). Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Dietisien, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada ini menjelaskan argumentasi pemohon bahwa penerapan UU Kesehatan yang dilakukan secara tiba-tiba, sehingga pemohon tidak bisa mempersiapkan pilihan karier, harus mengikuti pendidikan profesi yang membutuhkan biaya dan waktu yang lama tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
Tony mengatakan, argumentasi pemohon bahwa pasal 212 ayat (2) UU Kesehatan mengakibatkan para pemohon terhalang untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan perencanaan dan konsentrasinya selama menempuh pendidikan tidaklah benar, mengingat begitu banyak bidang pekerjaan lulusan S1 Gizi yang tidak membutuhkan STR sama sekali dan tidak mensyaratkan untuk mengikuti pendidikan profesi. Menurutnya, dalil-dalil pemohon yang menjadi dasar bagi pengujian materiil pasal 212 ayat (2) UU Kesehatan tidak beralasan dan tidak berdasarkan fakta yang ada di lapangan.
“Apablila Pasal 212 ayat (2) UU 17/2023 ditafsirkan sesuai dengan permohonan Para Pemohon, maka akan menimbulkan kekacauan pada sistem pendidikan tenaga gizi di Indonesia, menciptakan dualisme standar kompetensi tenaga gizi pada level profesi, menurunkan standar dan kualitas layanan tenaga gizi, dan akhirnya dapat membahayakan kesehatan pasien dan masyarakat,” jelasnya.
Baca juga:
Menguji Syarat Perolehan Surat Tanda Registrasi Tenaga Kesehatan
Pemohon Ungkap Kerugian Konstitusional Akibat Berlakunya Ketentuan Syarat Perolehan STR Tenaga Kesehatan
Pemerintah dan DPR Minta Penundaan Sidang Soal Syarat Perolehan STR Tenaga Kesehatan
Pemerintah: Sertifikat Profesi dalam UU Kesehatan Sejalan dengan UU Dikti
Lulusan Sarjana Gizi Sulit Cari Kerja karena Tidak Dapat Mengurus STR
Sebelumnya, MK menggelar sidang gabungan dua perkara, yaitu Perkara Nomor 49/PUU-XXII/2024 dan Perkara Nomor 50/PUU-XXII/2024. Permohonan Perkara Nomor 49/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Shafa Syahrani, Satria Prima Arsawinata, dan Bunga Nanda Puspita. Sedangkan permohonan Perkara Nomor 50/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Iwan Hari Rusawan.
Kurnia Nurfitrah selaku kuasa Pemohon Perkara Nomor 49/PUU-XXII/2024 menyampaikan, para Pemohon mengalami kerugian karena perubahan Pasal 212 ayat (2) UU Kesehatan menghalangi para mahasiswa program sarjana tenaga kesehatan untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) secara langsung setelah lulus dari program sarjana. Padahal, selama masa pendidikan program sarjana, Mahasiswa telah memilih konsentrasi di dalam program studi yang sesuai minat dan keahliannya dengan tujuan mendapatkan pekerjaan yang sesuai.
Para Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 212 ayat (2) UU Kesehatan tersebut secara tiba-tiba tanpa ketentuan peralihan. Oleh karena itu, dalam petitum, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk mengecualikan ketentuan Pasal 212 ayat (2) UU Kesehatan bagi mahasiswa yang terdaftar sebagai mahasiswa program sarjana tenaga kesehatan sebelum berlakunya pasal a quo (8 Agustus 2023).
Pengakuan Kompetensi Ahli Khitan
Pemohon Perkara Nomor 50/PUU-XXII/2024, Iwan Hari Rusawan, mendalilkan Pasal 212 ayat (2) UU Kesehatan hanya mengakomodir pendidikan profesi dan pendidikan tinggi. Hal ini mengakibatkan Pemohon yang berprofesi sebagai pengkhitan, tidak memiliki kesempatan membuktikan dan mencatatkan kemampuan dalam uji kompetensi sehingga tidak dapat mengajukan STR, maka Pemohon tidak diakui sebagai tenaga kesehatan. Akibat tidak dapat mempunyai STR, Pemohon tidak dapat mengajukan izin praktik yang dibutuhkan untuk menjalankan kepercayaan berbasis agama demi mencari nafkah, misalnya membuka balai sunat.
Dalam petitum, Iwan memohon kepada mahkamah agar ketentuan Pasal 210 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan mengecualikan tenaga medis dan tenaga kesehatan berbasis kebudayaan, kearifan lokal, dan agama yang telah memperoleh pengakuan dari masyarakat Indonesia sejak sebelum adanya perguruan tinggi di Indonesia.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: N. Rosi.
Humas: Fauzan F.