JAKARTA, HUMAS MKRI - Sejumlah pembeli apartemen menguji Pasal 74 ayat (1) dan ayat (3) Juncto Pasal 185 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para Pemohon Perkara Nomor 112/PUU-XXII/2024 ini yakni Aniek Trisilawati dan Idha Achira Handajanti yang berprofesi Ibu Rumah Tangga, serta Indri Marini Akbar dan Donny yang berprofesi sebagai Karyawan Swasta. Para Pemohon merasa dirugikan akibat proses kepailitan PT Crown Porcelain dan PT Cakrawala Bumi Sejahtera, selaku pengembang Apartemen Point 8 yang terletak di Jalan Daan Mogot Km. 14, Cengkareng, Jakarta Barat. Mereka meminta agar proses kepailitan bisa lebih cepat dan transparan.
Dalam sidang perdana Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (2/9/2024), Para Pemohon yang diwakili oleh Heriyanto mengatakan, direduksinya prinsip kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 nyata-nyata terlihat dalam proses pemberesan harta pailit oleh Tim Kurator debitor pailit PT Crown Porcelain dan debitor pailit PT Cakrawala Bumi Sejahtera, yang mana hingga detik ini para Pemohon tidak mengetahui batas akhir pelaksanaan tugas Tim Kurator debitor pailit PT Crown Porcelain dan debitor pailit PT Cakrawala Bumi dalam melakukan pemberesan harta pailit.
“Sehingga sampai detik ini tidak ada upaya apapun yang bisa para Pemohon lakukan, kecuali hanya menahan penderitaan dengan rasa penuh harapan, dan kekecewaan serta trauma, atas ketidakpastian menunggu ada titik terangnya penyelesaian pemberesan harta pailit, satu-satunya yang jelas dan pasti dalam proses pemberesan harta pailit oleh Tim Kurator debitor pailit PT Crown Porcelain dan debitor pailit PT Cakrawala Bumi Sejahtera adalah menunggu adanya informasi atas adanya laporan Kurator kepada hakim pengawas yang dapat diperpanjang secara terus menerus,” terangnya di hadapan Ketua MK Suhartoyo selaku pemimpin sidang.
Menurut para Pemohon kejelasan waktu dalam pemberesan boedel pailit seharusnya dimulai dengan penetapan batasan waktu yang spesifik untuk setiap tahap proses kepailitan. Pengadilan dan peraturan hukum yang berlaku harus menetapkan batasan waktu yang jelas untuk langkah-langkah kunci, seperti pengajuan klaim, peninjauan klaim, dan penentuan prioritas pembayaran. Batasan waktu yang tegas ini akan menghindarkan penafsiran yang ambigu dan memberikan panduan yang jelas bagi semua pihak yang terlibat. Tanpa adanya ketetapan waktu yang tegas, proses pemberesan dapat berlangsung tanpa batas waktu yang jelas, mengakibatkan potensi kelambatan dan kebuntuan. Para pihak yang terlibat, termasuk kurator, kreditur, dan debitur, mungkin menghadapi ketidakpastian yang signifikan mengenai kapan proses tersebut akan selesai. Ia menegaskan, hal ini dapat menimbulkan kebingungan, kecemasan, dan bahkan memperpanjang tekanan finansial yang mungkin dihadapi oleh debitur, terutama jika ada aset yang tertunda untuk dijual atau dibagi, lebih lanjut lagi dinyatakan ketidakjelasan batasan waktu dalam konteks kepailitan dapat memiliki dampak serius terhadap integritas dan keadilan proses pemberesan boedel pailit. Salah satu dampak yang signifikan adalah menciptakan celah hukum yang berpotensi dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bermaksud baik. Dalam keadaan di mana batasan waktu tidak ditentukan dengan jelas, muncul risiko bahwa pihak tertentu akan berusaha memperlambat proses atau bahkan memanfaatkan kekosongan waktu untuk memajukan kepentingan pribadinya.
Keberadaan celah hukum ini menurut para Pemohon, menciptakan ketidaksetaraan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemberesan boedel pailit. Pihak yang memiliki pengetahuan dan akses yang lebih baik terhadap celah hukum yang ada dapat mengambil keuntungan untuk memperlambat proses pemberesan. Hal ini dapat merugikan pihak lain yang mungkin memiliki kepentingan yang lebih mendesak, seperti kreditur yang membutuhkan pembagian aset lebih cepat untuk memenuhi klaimnya. Ketidaksetaraan ini merugikan integritas proses hukum dan dapat menciptakan ketidakadilan dalam penyelesaian kepailitan. Pihak yang bermaksud tidak baik dapat mencoba memanfaatkan kekosongan waktu yang diakibatkan oleh ketidakjelasan batasan waktu untuk mengambil langkah-langkah yang dapat menguntungkan kepentingannya sendiri. Pihak-pihak tersebut mungkin menggunakan taktik hukum yang tidak etis atau bahkan mencoba memanipulasi proses kepailitan demi keuntungan pribadi.
Petitum
Para Pemohon dalam petitum antara lain meminta MK menyatakan Pasal 74 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang menyatakan “Kurator harus menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan” adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai “Kurator harus menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan dan harus menyelesaikan pemberesan harta pailit serta seluruh pelaksanaan tugasnya dengan jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak pernyataan putusan pailit diucapkan.”
Selanjutnya, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 74 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU yang menyatakan “Hakim Pengawas dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai “Hakim Pengawas hanya dapat memperpanjang jangka waktu laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan.”
Para Pemohon juga meminta MK menyatakan Pasal 185 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU yang menyatakan, “Semua benda yang tidak segera atau sama sekali tidak dapat dibereskan maka Kurator yang memutuskan tindakan yang harus dilakukan terhadap benda tersebut dengan izin Hakim Pengawas” adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai “Semua benda yang tidak segera atau sama sekali tidak dapat dibereskan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun maka Kurator yang memutuskan tindakan yang harus dilakukan terhadap benda tersebut dengan izin Hakim Pengawas.”
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan para pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyarankan agar para pemohon mendalami putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya terkait kewenangan Mahkamah dalam mengubah batas waktu atau menambahkan norma baru dalam suatu undang-undang. “Apakah MK boleh atau tidak. Kemudian, apakah boleh MK menambahkan norma baru. Coba ini dipelajari,” ujar Arief.
Sebelum persidangan usai, Majelis Hakim menyebut Para Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun permohonan paling lambat diterima oleh MK pada Selasa 17 September 2024 pukul 15.00 WIB.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: N. Rosi.
Humas: Fauzan F.