JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana Pemeriksaan Pendahuluan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Senin (2/9/2024) di Ruang Sidang MK. Perkara Nomor 114/PUU-XXII/2024 ini diajukan Antonius Nicholas Stephanus Kosasih seorang mantan Direktur Investasi PT Taspen (Persero).
Dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan bahwa dirinya selaku Direktur Investasi PT Taspen, diduga melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal a quo, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dugaan tersebut terkait dengan investasi PT Taspen (Persero) tahun anggaran 2019 yang dikelola oleh PT Insight Investments Management (PT IIM).
Penetapan tersangka ini diduga berdasarkan kebijakan optimalisasi untuk menyelamatkan aset PT Taspen (Persero) terkait Sukuk Ijarah PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk. (PT TPSF) yang berpotensi pailit. Kebijakan tersebut telah melalui analisis tim internal dan tim eksternal independen serta persetujuan Rapat Direksi. Kebijakan ini diambil sebagai langkah strategis dan bersifat diskresioner (freies ermessen) untuk menghindari kerugian yang lebih besar bagi PT Taspen (Persero) dan negara. Namun, kebijakan ini justru dianggap sebagai tindak pidana korupsi karena dinilai merugikan keuangan negara.
Dalam persidangan, Alex Argo Hernowo selaku kuasa Pemohon menilai penetapan tersangka terhadap tindakan diskresioner ini menunjukkan adanya interpretasi yang terlalu luas terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, akibat tidak diaturnya secara tegas perbuatan yang dilarang (actus reus) dalam kedua pasal tersebut. Kemudian, menurut Pemohon adanya kontradiksi putusan pengadilan menjadi salah satu dasar penting dalam permohonan ini. Selain perdebatan yang terus berlanjut terkait permohonan judicial review terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, ditemukan juga putusan pengadilan yang saling bertentangan dalam penerapan kedua pasal tersebut. Isu kontradiksi ini sering kali muncul dalam kasus-kasus yang mempertanyakan apakah tindakan terdakwa merupakan perbuatan koruptif, risiko dari pengambilan kebijakan yang kurang tepat, atau sekadar pelanggaran administratif.
“Kami menyakini, dicabutnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 dalam UU 20/2001 atau dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum, bukanlah upaya untuk melemahkan penegakan hukum tindak pidana korupsi. Sebaliknya, hal ini bertujuan untuk memperkuat kejelasan dan kepastian hukum dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia,” sebutnya.
Menurutnya, menyatakan pasal a quo tidak memiliki kekuatan hukum mengikat tidak berarti bahwa perbuatan korupsi tidak dapat dihukum, karena semua perbuatan tindak pidana korupsi sebenarnya telah diuraikan secara jelas dalam pasal-pasal lainnya di UU Tipikor.
Sehingga, Pemohon meminta MK untuk menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, beserta perubahannya pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon juga memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kedua pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional yang menjamin kepastian hukum yang adil dan perlindungan hak asasi manusia.
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan Pemohon untuk membangun argumentasi yang kuat yang menyakinkan bahwa memang terdapat persoalan konstitusionalitas norma.
“Norma ini sebenarnya jantungnya dari UU Tipikor, kenapa karena digunakan juga dalam KUHP yang baru, coba dibuka di KUHP yang baru itu bagaimana dampaknya dengan KUHP yang baru itu. Coba buatkan narasi yang kuat disitu yang anda katakana rumusan tidak jelas terkait actus reus-nya itu sehingga membuatkan kebingungan dalam penerapannya,” ujar Enny.
Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo mengatakan Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun paling lambat penerimaan berkas permohonan pada Selasa 17 September 2024 pukul 15.00 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan