SAMARINDA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) bekerja sama dengan Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2024 pada Kamis-Sabtu (29-31/08/2024) di Hotel Fugo Samarinda, Kalimantan Timur. MK melakukan monitoring dan evaluasi (monev) pelaksanaan Putusan Nomor 45/PUU-IX/2011, Putusan Nomor 35/PUU-X/2012, Putusan Nomor 95/PUU-XII/2014, Putusan Nomor 24/PUU-XXII/2024, dan Putusan Nomor 37/PUU-XIX/2021.
MK mengundang beberapa pemangku kepentingan untuk mendiskusikan lima putusan tersebut, di antaranya Pemohon perkara, pembentuk undang-undang, pembuat regulasi, pengambil kebijakan, akademisi, serta masyarakat yang terdampak secara langsung maupun tidak langsung atas putusan MK. Kelima putusan MK tersebut memiliki persoalan yang berbeda yaitu Putusan Nomor 45/PUU-IX/2011 mengenai status kawasan hutan yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah; Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 mengenai tanah ulayat masyarakat hukum adat maupun hutan adat sebagai hutan negara; Putusan Nomor 95/PUU-XII/2014 mengenai hak masyarakat hukum adat, ketentuan, penataan, pengaturan, pengelolaan hutan oleh negara atau pemerintah; Putusan Nomor 24/PUU-XXII/2024 mengenai larangan pengajuan peninjauan kembali bagi badan/pejabat Tata Usaha Negara (TUN) dalam sengketa TUN pascaputusan MK; serta Putusan Nomor 37/PUU-XIX/2021 mengenai pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta korelasinya terhadap kerusakan lingkungan dan kriminalisasi bagi masyarakat yang melakukan upaya advokasi.
FGD hari kedua pada Jumat (30/08/2024) digelar dengan membagi peserta ke dalam lima klaster. Masing-masing klaster terdapat narasumber dan para pihak yang berkaitan dengan putusan. Kegiatan dimaksud dimulai dengan pemaparan latar belakang pengujian undang-undang dan amar putusan MK; regulasi, kebijakan, dan tindakan dalam pelaksanaan putusan MK; dinamika dan tantangan pelaksanaan putusan MK; sampai perumusan hasil FGD.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang menyampaikan ceramah kunci mengenai putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Kemudian kegiatan FGD ditutup secara resmi oleh Hakim Konstitusi Arsul Sani.
Sebelum penutupan, Sekretaris Jenderal MK Heru Setiawan pada Sabtu (31/08/2024) menyampaikan hasil FGD. Heru menyatakan, Mahkamah mendapatkan dukungan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk supremasi hukum dan konstitusi sampai dengan tahun 2024 dan beralih ke pemerintahan baru. Program tersebut di antaranya penanganan perkara serta peningkatan pemahaman hukum dan konstitusi yang disertai dengan dilaksanakannya publikasi dan penyebarluasan informasi serta monitoring dan evaluasi (monev) pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi.
“Monev ini penting karena sesungguhnya putusan Mahkamah itu final dan mengikat dan sesungguhnya dengan final dan mengikatnya itu semua harus dilaksanakan. Namun demikian, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan mengadakan acara ini di samping karena program untuk mendukung RPJMN, kita ingin mengetahui secara teknis ada tidak kesulitan-kesulitan terhadap implementasi putusan Mahkamah Konstitusi,” ujar Heru.
Klaster I
Klaster I: Putusan Nomor 45/PUU-IX/2011 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah dengan UU 19/2004. Pemohon adalah Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Kapuas yang diwakili Bupati Kapuas, Bupati Gunung Mas, Bupati Katingan, Bupati Barito Timur, Bupati Sukamara, serta satu perseorangan warga. Amar putusannya mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Kemudian menyatakan frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU 41/1999 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Heru menjelaskan, narasumber dan peserta Klaster I pada umumnya menganggap permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah suatu tindakan yang tepat dalam memberikan kepastian hukum terhadap penetapan status kawasan hutan. Putusan MK tersebut pada level implementatif telah ditindaklanjuti dengan beberapa produk peraturan perundang-undangan terkait dengan kawasan hutan, di antaranya adalah UU Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan.
Kemudian, narasumber dan peserta pada umumnya menemukan beberapa permasalahan dalam penetapan kawasan hutan yang berkaitan dengan Putusan MK tersebut. Permasalahan dimaksud antara lain, sumber peta penetapan kawasan hutan yang tidak akurat serta kondisi eksisting kawasan; penguasaan oleh pemilik modal/penguasa berbanding dengan penguasaan oleh masyarakat dan bahkan aparatur negara; inskonsistensi peruntukkan dan fungsi kawasan; serta dikotomi status kawasan.
Klaster II
Klaster II: Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 mengenai pengujian Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, serta Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu. Amar putusannya mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Berikutnya Mahkamah menyatakan kata “negara” dalam Pasal 1 angka 6 UU 41/1999 bertentangan dengan UUD NRI 1945; memaknai kembali Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (1); serta menyatakan Pasal 5 ayat (2) maupun frasa “dan ayat (2)" dalam Pasal 5 ayat (3) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Heru mengatakan, narasumber dan peserta pada umumnya menyambut baik hadirnya putusan pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan karena menjadi pintu masuk untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Peserta menilai seharusnya MK dapat memutus dengan amar putusan yang lebih progresif, komprehensif dan tidak menggantung.
Menurut narasumber dan peserta, putusan MK tersebut perlu ditindaklanjuti dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) menjadi Undang-Undang. Namun, narasumber dan peserta pada umumnya menilai bahwa kendala proses penetapan masyarakat hukum adat diantaranya meliputi: kriteria MHA berbeda beda pada setiap regulasi; konsesi di wilayah adat overlap; Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2023 tentang RTRW tidak ada menyebut wilayah adat sehingga diperlukan upaya responsif dari pemerintah khususunya pemerintah daerah melakukan percepatan identifikasi MHA berserta hak-haknya.
Klaster III
Klaster III: Putusan Nomor 95/PUU-XII/2014 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan serta UU 41/1999 tentang Kehutanan. Pemohon perkara ini adalah Wakil Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Guguk Malalo beserta warga lainnya bersama Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), AMAN, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Perkumpulan Pemantau Sawit (Sawit Watch), Indonesia Corruption Watch, dan Yayasan Silvagama. Amar putusannya mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian atas sejumlah pasal dalam UU 18/2013.
Heru menuturkan, narasumber dan peserta berpandangan bahwa putusan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan serta Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang ditujukan pada masyarakat adat dan/atau masyarakat yang hidup di kawasan hutan,tidak mendapatkan pengetahuan dan informasi yang cukup terkait adanya putusan ini. Mereka menilai bahwa putusan ini telah memberikan pengecualian pada larangan kepentingan komersial.
Dalam hal pengaturan dan pelaksanaan tindak pidana kehutanan terdapat prinsip pengecualian, untuk memanfaatkan sumber daya alam tersebut dalam hal bukan untuk tujuan komersil. Kemudian penerapan hukum pidana kehutanan ini harus dipandang sebagai kebijakan afirmasi bagi masyarakat adat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan.
Narasumber dan peserta pada umumnya sepakat masih terdapat tindakan kriminalitas terhadap masyarakat adat pascaputusan Nomor 95/PUU-XII/2014 hingga saat ini. Untuk menyikapi permasalahan yang berkaitan dengan adat, penting untuk melihatnya dari pandangan menyeluruh berdasarkan putusan-putusan MK sebelumnya, yakni Putusan MK 34/2011, Putusan MK 45/2011, dan Putusan MK 35/2012, karena merupakan satu kesatuan yang kompleks.
Klaster IV
Klaster IV: Putusan Nomor 24/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dimohonkan seorang ibu rumah tangga dengan memberikan kuasa kepada advokat Mohammad Erzad Kasshiraghi dan kawan-kawan. Amar putusannya mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Pada pokoknya MK menafsirkan Pasal 132 ayat (1) UU 5/1986 menjadi berbunyi, “Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara." Kendati demikian, terdapat dissenting opinion atau pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi sekaligus Ketua MK Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh.
Kemudian, Heru menuturkan, narasumber dan beberapa peserta menganggap permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menyegerakan pelaksanaan eksekusi terhadap putusan TUN yang inkraht serta menepis dalil badan/pejabat TUN yang menangguhkan pelaksanaan putusan yang berkekuatan hukum tetap, walaupun sebenarnya pengajuan Pengujian Kembali tidak menangguhkan pelaksanaan putusan. Narasumber dan peserta menganggap Mahkamah Agung belum mengeluarkan kebijakan untuk menanggapi putusan a quo. Namun, dalam putusan MA 84/PK/TUN/2024, MA menjadikan putusan MK tersebut sebagai pertimbangan hukum untuk menolak PK pemohon.
Dengan demikian, narasumber dan peserta berpendapat, implementasi putusan tersebut belum dapat dilihat dan dibaca secara komprehensif bagaimana dinamika pelaksanaannya karena baru saja diputus. Namun begitu, sudah dapat diduga bahwa ke depan akan cukup banyak tantangan dalam pelaksanaan putusan tersebut.
Klaster V
Klaster V: Putusan Nomor 37/PUU-XIX/2021 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Pemohonnya adalah WALHI, Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM), serta dua orang warga sebagai Pemohon perseorangan. Amar putusannya menyatakan permohonan para Pemohon berkenaan dengan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3) UU 3/2020 tidak dapat diterima, memaknai kembali Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, UU 3/2020, Pasal 31A ayat (2), Pasal 172 ayat (2) UU 3/2020.
Selanjutnya, Heru menjelaskan, narasumber dan peserta beranggapan persoalan yang menjadi objek pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara sebagaimana sebagian telah diubah dengan UU Cipta Kerja merupakan kepentingan publik yang berhubungan dengan persoalan kelestarian lingkungan, penyelamatan alam, dan praktik kriminalisasi masyaakat. Mereka pada umumnya menganggap putusan a quo secara konseptual dan praktik berimplikasi pada bergesernya kebijakan desentralisasi menjadi sentralistik, yang mana pada umumnya menganggap putusan a quo ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat dengan membentuk dan/atau mengubah peraturan perundang-udangan terkait.
Mereka kemudian menganggap terdapat beberapa tantangan dalam pelaksanaan putusan MK tersebut, di antaranya potensial akan kembali menjadi objek perkara di MK serta mendapat resistensi dari masyarakat luas khususnya oleh aktivis dan pemerhati lingkungan.
Menurut laporan kegiatan, Heru mengatakan FGD dilaksanakan dengan keberhasilan dan semangat. Dia berharap, FGD ini dapat dilanjutkan di lain hari.
Mimi Kartika
Editor: N. Rosi.