JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan penafsir Konstitusi yang memiliki kekuatan hukum mengikat dalam penafsirannya. Demikian ditegaskan oleh Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ketika menjadi narasumber Webinar Konstitusi bertajuk “Memastikan Kepatuhan Konstitusi dalam Pemilihan Kepala Daerah” secara daring pada Jumat (30/8/2024). Webinar ini diselenggarakan oleh MK bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman serta 66 Anggota Vicon Universitas dan Desa Konstitusi di seluruh Indonesia.
Zainal yang kerap disapa Uceng tersebut menambahkan banyak yang mengatakan bahwa MK merupakan penafsir tunggal Konstitusi. Namun baginya, hal tersebut tidaklah tepat karena setiap orang dapat menafsirkan Konstitusi. Baginya, MK memiliki penafsiran yang memiliki kekuatan hukum tetap.
“Kalau ditanya, siapa memiliki penafsiran konstitusi yang memiliki kekuatan hukum mengikat dalam konteks putusan ya MK. Ingat tuh, dua hal yang berbeda. MK bukan satu-satunya penafsir konstitusi, tetapi kalau ditanya siapa yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat penafsirannya melalui sebuah proses putusan ya, MK,” sebut Zainal.
Lebih lanjut Zainal menyinggung mengenai keributan tentang putusan yang harus dipergunakan dalam membuat peraturan mengenai batas usia calon kepala daerah antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung. Menurutnya, karena hal tersebut berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas norma karena bermuara dari pengujian UU Pilkada ke MK.
“Kemarin kalau ribut-ribut bicara MA atau MK putusannya yang soal misalnya usia 30 tahun, apakah dibawa ke arah 30 saat pelantikan atau 30 pada saat penetapan calon, itu clear bagi saya. Karena dua jenis putusan, satu putusan MA, satu putusan MK karena ini persoalan konstitusionalitas, maka putusan MK yang harus dipakai,” tegasnya dalam acara yang dipandu oleh Enny Dwi Cahyani, Dosen Universitas Jenderal Soedirman.
Zainal pun menegaskan, MK adalah satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang untuk memberikan penafsiran hukum yang mengikat terhadap Undang-Undang Dasar. Meskipun lembaga lain, seperti DPR, juga dapat menafsirkan UUD, namun hanya putusan MK yang memiliki kekuatan hukum yang final.
"Anda harus ingat sifatnya adalah dia penafsir tunggal yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Boleh gak DPR menafsirkan? boleh. Semua boleh menafsirkan tetapi kalau memiliki kekuatan hukum mengikat secara jenis putusan pasti adalah MK. Perdebatannya disini, apakah kalau sudah diputus MK maka DPR harus tata atau tidak? Nah itu perdebatan tersendiri sampai sekarang. Tergantung Anda itu alirannya apa. Kalau di Amerika itu biasanya ada dua aliran besar. Ada yang beraliran bahwa putusan MK itu harus diambil secara otoritatif dan berdasarkan kewenangan. Maka kalau MK sudah mengambil, MA sudah mengambil semuanya harus taat. Ada juga yang berada diseberang mengatakan tidak karena dia berbasis populis constitusionalis yang mana memperhitungkan jumlah,” sebutnya.
Menaati Putusan MK
Lebih lanjut Zainal mengatakan, manakala MK sudah memutus, apakah DPR boleh mengatur berbeda? Ia mengungkapkan bahwa ia berada di tengah dari dua kutub itu. Secara normatif, lanjutnya, konsep hukum tata negara biasa seharusnya DPR harus taat. Karena hal itu merupakan putusan penafsiran konstitusional yang mengikat secara hukum dalam keadaan normal.
“Maka mungkinkah DPR mengangkangi putusan MK dan mengatur berbeda, saya membuka skop kecil untuk itu. Karena saya tentu tidak bisa berasumsi MK pasti benar. Itu sebabnya, saya mengatakan sebagai counter terhadap MK yang mungkin melakukan kesalahan, saya membuka ruang kecil dimana DPR masih bisa mengatur berbeda dari yang diputuskan oleh MK sepanjang ada kebutuhan yang besar. Dan kebutuhan itu bukan kebutuhan personal, kebutuhan itu kebutuhan publik secara luas. Yang kedua adalah, dia harus jelaskan itu, dia harus mengambil keputusan itu dengan tegas dan memadai kepada publik. Kenapa kali ini dia harus taat pada putusan pengadilan dan kenapa lain kali dia harus tidak taat pada putusan pengadilan,” tegas Zainal.
Sebagai informasi, kegiatan Webinar Konstitusi yang pertama diselenggarkan oleh Fakultas Hukum Universitas Pancasakti, Tegal, Jawa Tengah dan Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret menjadi penutup rangkaian kegiatan Webinar Konstitusi 2024. MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman juga mengambil tanggung jawab untuk menyebarkan dan mengembangkan budaya sadar konstitusi. Rapat koordinasi itu diselenggarakan untuk mempersiapkan rangkaian Webinar Konstitusi 2024 untuk Peningkatan Budaya Sadar Konstitusi yang akan dimulai pada Juli hingga Desember 2024. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.