JAKARTA, HUMAS MKRI - Diskusi Literasi Konstitusi (Diksi) memasuki Seri 2. Kali ini mengangkat bahasan tentang “Politik Hukum Yudisial: Sumber Pembangunan Hukum Nasional” karya Irfan Nur Ranchman dan “Ragam Persoalan Penyandang Disabilitas: Hak Asasi yang Belum Terpenuhi” karya Syamsudin Noer. Kegiatan yang digagas oleh Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, dan Pengelola Perpustakaan (Puslitka) Mahkamah Konstitusi (MK) dengan PT. RajaGrafindo Persada serta Edulaw Project ini berlangsung di Perpustakaan MK pada Rabu (28/8/2024).
Dalam agenda yang dihadiri oleh para peserta baik secara luring maupun daring ini, Kepala Puslitka MK Pan Mohamad Faiz dalam sambutan mengatakan kegiatan dilaksanakan guna meningkatkan dan membudayakan literasi konstitusi. Bicara literasi, sambung Faiz, tidak hanya menyoal membaca dan menulis tetapi perlu juga mendiskusikannya. Sehingga, sasaran kegiatan ini dapat menumbuhkembangkan literasi konstitusi di tengah publik secara lebih luas.
“Kegiatan yang merupakan hasil kolaborasi antara Puslitka MK dengan Edulaw Project ini, tidak hanya diikuti oleh publik tetapi juga pegawai MK. Sehingga harapannya momen diskusi ini menjadi momentum menambah wawasan dan mendapatkan pencerahan dari narasumber yang berkualitas. Semoga diskusinya berjalan lancar dan bermanfaat,” ucap Faiz yang disampaikan secara daring.
Politik Hukum Yudisial
Dipandu oleh Umi Zakia Azzahro (Tim Riset Edulaw Project) sebagai moderator, Irfan Nur Rachman membedah pokok-pokok buku karyanya terkait politik hukum konstitusi dalam sistem hukum nasional. Secara umum, Irfan mengatakan bahwa politik hukum dibuat oleh DPR dan Presiden atau dikenal dengan politik hukum legislasi.
Pada buku ini, Irfan mengenalkan istilah baru berupa politik hukum yang dibuat oleh lembaga yudisial dalam hal ini Mahkamah Konstitusi atau dikenal dengan istilah politik hukum yudisial. Secara lebih jelas, Irfan menyebutkan politik hukum yudisial tidak kalah pentingnya untuk dimuat dalam perencanaan dan pembangunan sistem hukum nasional. Karena di dalamnya memuat penafsiran atas UUD 1945, berfungsi sebagai ius constituendum, politik hukum dasar dari politik hukum konstitusi, dan mampu membuat UUD 1945 menjadi konstitusi yang hidup.
“MK telah menjadikan UUD bukan saja teks mati tanpa makna, tetapi telah menjadikan sebagai living constitution di mana pesan peradilan yang ada pada putusan MK harus dijadikan sebagai pedoman ketika presiden dan DPR membentuk undang-undang dan merumuskan RPJMN,” kata Irfan.
Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam konteks studi perbandingan, ada beberapa negara yang ditulis dalam buku ini yakni MK Korea, Italia, Jerman. MK negara-negara tersebut tak hanya sebagai negative legislator tetapi juga sebagai positive legislator. Sementara MK Turki, Spanyol, Austria, hanya bertindak sebagai negative legislator yakni hanya menghapuskan norma.
“Jadi, MK (Indonesia) sekarang bertindak sebagai positive legislator bukan dalam rangka menambah kewenangan atau mengambil kewenangan pembentuk undang-undang. Akan tetapi desain awalnya memang seperti itu, sehingga ketika MK hanya sebagai negative legislator yang hanya menghapus norma, maka akan terjadi kekosongan hukum. Inilah yang kemudian dinilai MK dan kemudian putusan MK mayoritas menjadi putusan bersyarat,” jelas Irfan.
Ruang Tenang Bagi Penyandang Disabilitas
Syamsudin Noer membahas karyanya berjudul “Ragam Persoalan Penyandang Disabilitas: Hak Asasi yang Belum Terpenuhi”. Dia mengatakan di tengah banyaknya perkara pada 2024 yang harus dihadapi MK, tak menyurutkan semangatnya dengan tim penulis dalam mengawal MK sebagai penjaga HAM bagi warga negara Indonesia, utamanya penyandang disabilitas dan masyarakat hukum adat.
Syamsudin menyebut Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sangat akomodatif dalam memperlakukan setiap warga negara tanpa ada pembeda, termasuk seharusnya bagi penyandang disabilitas. Sebab penyandang disabilitas harus memiliki sejenis ruang tenang termasuk oleh MK dalam mengakomodasikan seluruh hak-hak asasi yang ada padanya. Misalnya berupa akses hukum, hak pendidikan, bahasa isyarat, akomodasi yang layak,
“Salah satunya bahasa isyarat yang seharusnya di setiap instansi pemerintah dan pelayanan publik harus disediakan untuk teman-teman disabilitas, ada pula akomodasi yang layak seperti puffing block yang memudahkan langkah serta parkir khusus bagi teman-teman disabilitas. Kita berharap, teman-teman juga merasakan seluruh fasilitas yang ada di MK ini karena teman-teman punya potensi untuk mengajukan judicial review dan MK layak menyambut teman semua. Maka Diksi ini seharusnya memberikan masukan yang lebih bernas sehingga hak-hak asasi yang belum terpenuhi dapat diakomodasikan,” sebut Syamsudin.
Pendidikan Inklusi
Taufik Wijaya, penyandang disabilitas dari Universitas Pamulang menanyakan soal pendidikan inklusi yang dinilainya masih belum memadai dan mengakomodasi seluruh penyandang disabilitas mulai dari SD hingga perguruan tinggi. “Harapan saya pendidikan inklusi tersebut harus diakomodasi oleh Kemendikbudristek dengan adanya kurikulum yang mengaturnya dalam bentuk SOP, sehingga tak ada lagi perundungan bagi penyandang disabilitas yang dapat saja dialami setiap orang,” tanya Taufik.
Menjawab pertanyaan ini, Syamsudin mengatakan seharusnya kurikulum di Indonesia harus mencakup kurikulum untuk penyandang disabilitas. “Setiap ganti menteri, maka kurikulum ganti. Pada hakikatnya manusia itu cenderung berubah-ubah, demikian juga dengan kurikulum kita karena yang dikelola adalah manusia. Justru di sini ada harapan kita, semoga ke depan kurikulum kita dapat mengakomodasi penyandang disabilitas dalam mendapatkan hak-haknya dalam pendidikan,” jelas Syamsudin.
Baca juga:
MK Gelar Diskusi Perdana Literasi Konstitusi
Penulis : Sri Pujianti.
Editor: N. Rosi.