JAKARTA, HUMAS MKRI - Djohansjah Marzoeki yang berprofesi sebagai dokter/guru besar emeritus ilmu kedokteran bedah plastik Universitas Airlangga, mengujikan Pasal 451, Pasal 272 ayat (2), Pasal 1 angka 26, Pasal 272 ayat (5), Pasal 421 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana Perkara Nomor 111/PUU-XXII/2024 ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, pada Selasa (27/8/2024) di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Pasal 451 UU Kesehatan berbunyi, “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Kolegium yang dibentuk oleh setiap organisasi profesi tetap diakui sampai dengan ditetapkannya Kolegium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 yang dibentuk berdasarkan undang-undang ini.”
Pasal 272 ayat (2) sepanjang frasa “merupakan alat kelengkapan Konsil dan”, yang selengkapnya Pasal 272 ayat (2) UU Kesehatan berbunyi, “Kolegium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat kelengkapan Konsil dan dalam menjalankan perannya bersifat independen.”
Pasal 1 angka 26 UU Kesehatan sepanjang frasa “dan merupakan alat kelengkapan Konsil” yang selengkapnya Pasal 1 angka 26 UU Kesehatan berbunyi, “Kolegium adalah kumpulan ahli dari setiap disiplin ilmu Kesehatan yang mengampu cabang ilmu tersebut yang menjalankan tugas dan fungsi secara independen dan merupakan alat kelengkapan Konsil.”
Pasal 272 ayat (5) UU Kesehatan berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai Kolegium, termasuk tugas, fungsi, dan wewenang diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Pasal 421 ayat (2) huruf b sepanjang frasa “serta etika dan disiplin profesi”, yang selengkapnya berbunyi, “…ketaatan terhadap standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional, serta etika dan disiplin profesi.”
Muhammad Joni selaku kuasa hukum Pemohon mengatakan pasal-pasal tersebut menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Akibat diberlakukannya norma hukum kolegium (baru) yang termuat pada Pasal 451 UU Kesehatan, maka legalitas kolegium-kolegium yang sudah ada menjadi hilang karena dasar pengakuannya berubah menjadi tidak sah sebagai lembaga ilmiah. Selain itu, pasal tersebut menjadikan kolegium yang legitimated menjadi illegitimated dengan membuat aturan hukum yang represif, otoriterian, sewenang-wenang, tanpa ada argumentasi hukum.
Kemudian terkait dengan Pasal 421 ayat (2) huruf b, Pemohon menilai pasal tersebut telah merugikannya karena memberi wewenang kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk melakukan pengawasan etika dan disiplin profesi. Seharusnya hal demikian menjadi domein profesi dan bukan domein dari pemerintah.
Sebagai lembaga ilmiah kolegium bertugas mengampu ilmu kedokteran, namun menjadi tidak berdasar apabila dinormakan sebagai alat kelengkapan pemerintah karena (akan) dikendalikan penguasa politik ataupun lembaga pemerintah. Jadi, Pemohon berkepentingan atas legitimasi kolegium yang independen dengan keberadaan dan fungsinya, yang harus mencerminkan kaidah ilmiah dan jati diri ilmu kedokteran Pemohon berpendapat, keberadaan Kolegium sebagai academic body dan bersifat independen, maka keberadaan dan fungsinya dijamin, dihormati, dan dilindungi yang bukan menjadi bagian dari kapasitas sebagai lembaga pemerintah. Sehingga tugas, fungsi, dan wewenang Kolegium tidak konstitusional jika dibentuk oleh Menteri Kesehatan dan menjadi bagian dari alat kelengkapan lembaga eksekutif yang diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP 28/2024) sebagaimana termuat pada Pasal 272 ayat (5) UU Kesehatan.
“Hal-hal yang merupakan kenyataan pada hari ini dengan terbitnya PP 28/2024 yang membuat aturan bahwa kolegium yang membuat keputusan atau menjalankan tugas fungsi dan wewenangnya yang tidak sesuai dengan tugas dan fungsi pemerintah, maka kolegium bisa diubah keputusan-keputusannya. Pasal tersebut dalam PP 28/2024 adalah kenyataan hukum yang menjadikan bukti kolegium telah menjadi alat kelengkapan pemerintahan, sehingga aturan yang demikian bertentangan dengan maksud asli keberadaan kolegium,” sebut Joni.
Untuk itu, Pemohon dalam salah satu petitumnya memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 451 UU Nomor 17 Tahun 2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; menyatakan Pasal 421 ayat (2) huruf b sepanjang frasa “serta etika dan disiplin profesi” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 421 ayat (2) huruf b UU No. 17 Tahun 2023 menjadi berbunyi “ketaatan terhadap standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional”.
Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 272 ayat (2) UU Kesehatan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “difasilitasi negara tanpa intervensi dan benturan kepentingan”, sehingga Pasal 272 ayat (2) UU Kesehatan menjadi berbunyi, “Kolegium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan perannya bersifat independen dan difasilitasi negara tanpa intervensi dan benturan kepentingan.”
Kerugian Konstitusional
Dalam nasihat Majelis Sidang Panel, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyebutkan kedudukan hukum pada permohonan belum menguraikan dan menarasikan keterpenuhan syarat kerugian konstitusional. Berikutnya, Daniel mempertanyakan Pemohon yang mengajukan permohonan sebagai organisasi atau kolegium dan/atau pribadi.
“Perlu pula ditambahkan latar belakang lahirnya norma yang diujikan. Uraikan original intens-nya karena terdapat politik hukumnya masing-masing. Lalu bagaimana keberadaan kolegium setelah UU ini lahir, termasuk dengan isu subordinasi sebagai kelengkapan konsil. Jika ada, hasil kajiannya atau diskusi yang menjadi sikap bersama kolegium ini” sampai Daniel.
Sementara Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dalam nasihatnya mengatakan ada lima pasal yang diuji dengan tiga pasal yang dijadikan dasar pengujian. Ridwan berharap permohonan diperkuat dengan argumentasi yang berdampak pada inkonstitusinalitas kolegium yang disertai dengan contoh kasus. Kemudian Ketua MK Suhartoyo mencermati permohonan pada bagian kedudukan hukum, yang dikaitkan dengan anggapan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon.
“Pada permohonan ini belum muncul tentang penjelasan anggapan kerugian yang dialami Pemohon sehingga memiliki hubungan sebab akibat atau kausalitas dengan syarat-syarat kerugian konstitusional yang lima tersebut. Pada bagian petitum ada yang kontradiksi, cermati pada beberapa bagian yang dimintakan sehingga petitumnya tidak kabur,” jelas Ketua MK Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Suhartoyo menyebutkan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Kemudian naskah perbaikan tersebut dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 10 September 2024, pukul 15.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Selanjutnya akan dijadwalkan untuk sidang kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan yang telah dilakukan Pemohon.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.