JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) yang dimohonkan oleh Leonardo Olefins Hamonangan (Pemohon I) dan Ricky Donny Lamhot Marpaung (Pemohon II), pada Kamis (22/8/2024). Sidang dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan Perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024 ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh di Ruang Sidang Panel, Gedung 2 MK.
Kuasa hukum para Pemohon, Syamsul Jahidin dalam persidangan menyampaikan hal-hal yang telah disempurnakan pada permohonan. Di antaranya, perbaikan kedudukan hukum para Pemohon, hak konstitusional para Pemohon yang dirugikan atas keberlakuan norma yang diujikan, dan alasan-alasan permohonan.
“Bahwa aturan ini berlaku tujuh tahun ke depan yang berdasarkan Pasal 68 PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan tabungan perumahan rakyat. Selain itu, para Pemohon telah menyertakan hasil survei penolakan kepesertaan Tapera ini,” jelas Syamsul.
Baca juga:
Kewajiban dan Tolok Ukur Peserta Tapera Dipertanyakan
Sebagai tambahan informasi, pada Sidang Pendahuluan di MK, Senin (5/8/2024), para Pemohon Perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024, Leonardo Olefins Hamonangan dan Ricky Donny Lamhot Marpaung, mengujikan Pasal 7 ayat (1) dan ayat 2, Pasal 72 ayat (1) huruf c UU Tapera. Menurut para Pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Para Pemohon menyatakan kewajiban Tapera menguras pendapatan masyarakat rendah, sedangkan biaya hidup semakin tinggi dan ditambah pula adanya potongan upah untuk BPJS dan biaya lainnya. Pemohon I yang bekerja sebagai karyawan swasta nantinya akan mengalami pemotongan gaji sebesar 3% untuk simpanan Tapera, sehingga ini menambah beban finansial.
Bahkan menurut para Pemohon, Pasal 7 ayat (3) UU Tapera dapat menimbulkan ketidakjelasan tolok ukur penetapan peserta Tapera. Apakah kepesertaan menjadi anggota Tapera saat seseorang berusia 20 tahun atau saat sudah kawin. Dengan demikian, frasa “atau” menimbulkan celah hukum yang memungkinkan bagi pekerja yang sudah bekerja tetapi belum kawin untuk mengulur menjadi peserta Tapera. Konsidi ini membuat Pemohon I diperlakukan tidak adil dan tidak mendapatkan kepastian hukum.
Sementara untuk Pemohon II yang menjadi pelaku UMKM merasa dirugikan dengan pasal-pasal tersebut karena mempengaruhi pendapatannya yang harus mengeluarkan sejumlah iuran sebesar 3% dari pendapatan sebagai pekerja mandiri. Terlebih lagi, pada pasal-pasal tersebut bagi pelaku usaha akan dikenakan sanksi berupa pembekuan dan pencabutan izin usaha yang sangat memberatkan dan merugikan secara finansial dan prinsip bisnis. Ketiadaan tolok ukur yang jelas dan tahap-tahap pengenaan sanksi terhadap pekerja mandiri ini berpotensi melanggar hak konstitusionalitas Pemohon II.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Fauzan F.