JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Undonesia Tahun 1945 pada Rabu (21/8/2024). Sidang kedua dari permohonan yang diajukan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) ini beragedakan mendengarkan perbaikan permohonan yang telah dilakukan terhadap Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024.
Haris Manalu selaku kuasa hukum Pemohon menyebutkan telah menyempurnakan beberapa bagian dari permohonannya, di antaranya identitas Pemohon yang disertai lampiran bunyi Pasal 8 ayat (1) dari AD/ART yang berlaku 2023 – 2027, sehingga Presiden dan Sekjen berwenang mewakili di dalam dan luar pengadilan. Kemudian Pemohon juga memperkuat argumentasi dalil kerugian konstitusional yang dialami Pemohon atas keberlakuan norma yang diujikan. Haris menyebutkan UU Tapera sejatinya telah berlaku sejak 24 Maret 2016 sebagaimana tercantum dalam Pasal 68 PP 25/2020. Norma ini menyatakan pemberi kerja harus mendaftarkan diri (pekerjanya) untuk Tapera tujuh tahun sejak berlakunya ketentuan tersebut, sehingga tidak tepat disebutkan jika UU Tapera belum berlaku.
“Jika hanya berpedoman pada Pasal 68 PP 25/2020 tersebut, ketika dengan adanya pernyataan ‘paling lambat’, maka setidaknya pada 20 Mei 2027 telah berlaku norma ini bagi Pemohon. Meski saat permohonan ini didaftarkan ke MK, belum ada pengusaha yang mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta Tapera karena sangat membebani keuangan buruh dan pengusaha. Namun jika pengusaha tidak mendaftarkan setelah 20 Mei 2027, maka Pemerintah memiliki dasar hukum untuk memberikan sanksi dengan melakukan pembekuan dan/atau pencabutan izin usaha atau perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf e dan huruf f UU 4/2016, yang dampaknya pada buruh berupa PHK akan semakin merajalela,” sampai Haris ini.
Berlaku Diskriminatif
Selanjutnya Pemohon juga menyatakan apabila keberlakuan UU Tapera yang didasarkan Pasal 68 PP 25/2020 yakni 20 Mei 2027, ketentuan tersebut hanya berlaku bagi pekerja buruh yang bekerja pada perusahaan swasta. Sedangkan bagi pekerja buruh yang bekerja pada perusahaan BUMN dan BUMD, hal demikian tidak berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf g PP 25/2020. Kemudian Pemohon juga menguraikan terkait daya laku UU 4/2016 ini, yang dinilai berbeda dari daya laku UU 1/2023 tentang KUHP. Sebab pada Pasal 624 UU 1/2023 telah jelas menyatakan UU tersebut berlaku setelah tiga tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
“Artinya, jika terhadap suatu norma dalam UU 1/2023 diajukan permohonan pengujiannya, baik sekarang maupun tahun ini maka permohonan tersebut akan dinyatakan prematur karena UU tersebut juga baru berlaku per 2 Januari 2026 sesuai dengan bunyi Pasal 624 UU 1/2023 itu. Sebab berlakunya norma yang diuji konstitusionalitasnya ini, maka dari penalaran yang wajar Pemohon berpotensi mengalami kerugian sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 34 ayat (1) UUD 1945,” terang Haris dalam Sidang Majelis Panel yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Pada Sidang Pendahuluan, Selasa (6/8/2024) lalu Pemohon menyatakan Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), dan 72 ayat (1) UU Tapera dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Pemohon menyebutkan upah pekerja/buruh mandiri masih kecil bahkan tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup layak, diharuskan membayar iuran jaminan sosial yang cukup besar termasuk Tapera, sehingga program Tapera ini tumpang tindih dengan BPJS Ketenagakerjaan. Ditambah pula peserta Tapera dan pemberi kerja yang membayar simpanan Tapera, sedangkan peserta yang berhak mendapatkan manfaat pembiayaan perumahan hanyalah peserta yang sama sekali belum memiliki rumah. Selain itu, keangotaan Komite Tapera tidak mengikutsertakan unsur dari pekerja/buruh dan pengusaha, sehingga norma yang diujikan ini berlaku tidak adil dan/atau bersifat diskriminatif. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), dan 72 ayat (1) UU Tapera bertentangan dengan UUD 1945.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan