JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Materiil terhadap Pasal 48 ayat (1), Pasal 50 ayat (4), Pasal 50 ayat (10) huruf a dan b, serta Pasal 50 ayat (11) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (UU Jalan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Rabu (21/8/2024) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 104/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Armyn Rustam Effendy dan Rahayu Ahadiyati.
Nurwakhidin, selaku kuasa hukum Para Pemohon, menyampaikan bahwa pemberlakuan Pasal 48 ayat (1) UU Jalan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 33 ayat (2), dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. "Oleh karena itu, kami memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menyatakan bahwa Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan sepanjang frasa 'Tarif Tol dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna Jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan, dan kelayakan investasi,' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai 'Tarif Tol dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna Jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan, dan kelayakan investasi dengan merujuk pada satuan harga nasional yang dihitung dalam satuan jarak'," tegasnya di hadapan Ketua Panel Arsul Sani di Ruang Sidang Pleno.
Nurwakhidin juga menambahkan bahwa di Indonesia sudah ada preseden terkait jalan tol yang telah habis masa konsensinya dan kemudian digratiskan, seperti pada kasus Tol Jembatan Suramadu. Oleh karena itu, terdapat dasar hukum yang kuat untuk menjadikan jalan tol yang berbayar dan telah habis masa konsensinya serta tidak diperpanjang lagi, dialihkan menjadi jalan bebas hambatan yang dapat diakses masyarakat secara gratis. Mengenai perawatan jalan tersebut, Nurwakhidin mengusulkan agar pemerintah pusat menggunakan alokasi dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Lebih lanjut, Nurwakhidin menjelaskan bahwa Para Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 50 ayat (11) UU Jalan, yang mengatur tarif tol dari pengusahaan baru setelah masa konsensi berakhir dan tidak diperpanjang, yang ditetapkan lebih rendah daripada tarif tol yang berlaku pada akhir masa konsensi. Menurutnya, aturan ini merupakan tindak lanjut dari Pasal 50 ayat (10) huruf b UU Jalan, Pemerintah Pusat setelah mendapatkan pengusahaan jalan tol kembali karena masa konsensi berakhir, dapat memilih menjadikan jalan tol tersebut sebagai jalan bebas hambatan non-tol atau menugaskan pengusahaan baru kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk pengoperasian dan preservasi jalan tol. Jika Pemerintah Pusat memilih menugaskan BUMN untuk mengusahakan jalan tol tersebut, maka tarif tol yang ditetapkan harus lebih rendah daripada tarif tol yang berlaku pada akhir masa konsensi.
"Oleh karena itu, dengan diberlakukannya Pasal 50 ayat (11) Undang-Undang Jalan, yang berbunyi 'Tarif Tol awal dari pengusahaan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b ditetapkan lebih rendah daripada tarif Tol yang berlaku pada akhir masa konsesi,' bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 33 ayat (2), dan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Kami memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa Pasal 50 ayat (11) tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tegas Nurwakhidin.
Berdasarkan seluruh uraian tersebut, para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menerima dan/atau mengabulkan seluruh permohonan Para Pemohon.
Nasihat Hakim
Merespons permohonan dari Para Pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan bahwa struktur permohonan telah disusun dengan baik. Namun, ia menekankan perlunya perbaikan pada bagian kedudukan hukum.
“Perbaikannya, seperti ini dalam bagian legal standing, jelaskan dulu subjek hukumnya dari kedua orang ini. Apa status subjek hukum mereka? Sebagai perseorangan warga negara, apa posisi mereka? Kemudian, jelaskan mengapa hak konstitusional mereka dirugikan. Kerugian yang dimaksud harus bersifat faktual, dan kaitkan dengan sebab-akibat dari pasal yang dipermasalahkan,” jelas Arief.
Selain itu, Arief juga meminta Para Pemohon untuk melengkapi perihal permohonan. “Perihalnya bisa dilengkapi seperti dalam permohonan lainnya. Silakan disempurnakan terlebih dahulu. Sedangkan untuk bagian kewenangan, sudah cukup baik,” tambahnya.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan agar para Pemohon lebih jelas menguraikan kualifikasi dari Pemohon I dan Pemohon II. "Prinsip dasarnya, para Pemohon adalah pengguna jalan tol yang merasa dirugikan oleh tarif yang mahal dan tidak konsisten. Selanjutnya, Anda perlu menjelaskan hak-hak konstitusional yang merasa dilanggar, serta menunjukkan di mana hak tersebut dijamin dalam UUD. Setelah itu, uraikan kedudukan hukum para Pemohon, dengan memastikan bahwa kualifikasi yang Anda jelaskan tadi sesuai dengan syarat-syarat kerugian hak konstitusional,” saran Enny.
Sebelum menutup persidangan Majelis Hakim menyampaikan para Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun batas perbaikan diterima oleh MK pada Selasa, 3 September 2024 pukul 08.30 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina