JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan Putusan Nomor 58/PUU-XXII/2024 dalam perkara pengujian materi Pasal 415 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Permohonan diajukan seorang dosen Bernama Abdul Basir. Menurut Mahkamah, substansi/materi permohonan yang diajukan Pemohon tidak jelas. Alhasil, dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Arsul Sani menuturkan, permohonan Pemohon pada pokoknya mempermasalahkan metode konversi sainte lague yang diterapkan UU Pemilu. Mahkamah tidak menemukan adanya tawaran alternatif metode konversi suara yang menurut Pemohon lebih tepat. Ketiadaan tawaran alternatif metode demikian mengakibatkan rangkaian argumentasi dalam pokok permohonan Pemohon menjadi terputus karena seharusnya permintaan untuk mengganti atau mengubah suatu norma disertai dengan tawaran alternatif pengganti norma dimaksud.
“Pemohon tidak boleh begitu saja meminta suatu norma dihilangkan, yang tentunya akan berakibat kekosongan hukum, kecuali apabila Pemohon memang menghendaki suatu norma atau aturan hukum dihilangkan/dihapuskan untuk kemudian pengaturannya dikehendaki Pemohon agar diserahkan pada kehendak bebas atau kesepakatan masyarakat,” ujar Arsul dalam sidang pengucapan putusan pada Selasa (20/8/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Rumusan petitum Pemohon menurut Mahkamah tidak dapat dipahami. Bagian yang tidak dapat dipahami adalah anak kalimat "sejalan pemilihan umum calon legislatif 2024" pada petitum angka 2. Rumusan petitum yang demikian adalah tidak sejalan dengan perumusan petitum yang lazim dalam pengujian undang-undang di Mahkamah sebagaimana diatur Pasal 10 ayat (2) huruf d angkat 2 Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021.
Arsul melanjutkan, sekiranya Pemohon menghendaki petitum yang demikian diberlakukan untuk hasil Pemilu 2024, hal demikian haruslah dicantumkan dalam petitum tersendiri.
Begitu pula, anak kalimat "sejalan pemilihan umum calon legislatif 2024" dalam petitum Pemohon membuka pertanyaan dan tafsir yang seharusnya dijawab oleh Pemohon, tetapi tidak dijawab atau dijelaskan dalam posita permohonan, yaitu apakah Pemohon menghendaki penghapusan norma Pasal 415 ayat (3) UU Pemilu hanya untuk sementara (bagi hasil Pemilu 2024) atau dihapus untuk selamanya, serta bagaimana dampak hukum masing-masing pilihan dimaksud.
Selain itu, menurut Mahkamah, secara formal permohonan Pemohon juga dapat dikategorikan tidak memenuhi syarat pengajuan permohonan. Hal demikian karena Pemohon telah mengajukan sembilan alat bukti tetapi UU Pemiliu yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas justru tidak diajukan sebagai alat bukti walaupun sidang pendahuluan pada Kamis, 11 Juli 2024, Pemohon sudah diingatkan Majelis Hakim untuk menyertakan UU Pemilu sebagai alat bukti.
“Berdasarkan pertimbangan hukum demikian, Mahkamah menilai substansi/materi permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 415 ayat (3) UU 7/2017 yang diajukan Pemohon tidak jelas. Dengan demikian, permohonan a quo merupakan permohonan yang kabur (obscuur libel) dan Mahkamah tidak perlu lagi mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon dan substansi pokok permohonan Pemohon,” kata Arsul.
Baca juga:
Dampak Metode Sainte Lague Penghitungan Perolehan Kursi Legislatif
Gagal Jadi Anggota DPRD, Caleg Uji Metode Penghitungan Perolehan Kursi
Sebagai informasi, caleg DPRD Kota Tegal pada Pemilu Tahun 2024 bernama Abdul Basir mempersoalkan ketentuan penghitungan perolehan kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota dalam UU Pemilu. Abdul Basir memperoleh 2.186 suara sah pada daerah pemilihan (dapil) Kota Tegal 1 dan menduduki peringkat dua di internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Namun, PKB hanya mendapatkan satu kursi sebagaimana penghitungan kursi berdasarkan ketentuan Pasal 415 ayat (3) UU Pemilu dari sembilan kursi anggota DPRD Kota Tegal dapil 1 yang tersedia.
Karena itu, Pemohon yang berada di urutan kedua tidak berhasil memperoleh kursi anggota dewan. Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak lolos menjadi caleg terpilih. Sedangkan, beberapa caleg di partai lain yang memperoleh suara sah di bawah perolehan suara Pemohon tetapi lolos menduduki kursi DPRD Kota Tegal sebagaimana penghitungan perolehan kursi berdasarkan ketentuan Pasal 415 ayat (3).
“Menurut kami serasanya tidak fair bagi kami karena Pemohon Doktor Abduk Basir memiliki suara yang lebih tinggi,” ujar kuasa hukum Pemohon, Mohammad Sonhaji Akbar dalam sidang pendahuluan Perkara Nomor 58/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 MK, Jakarta pada Kamis (11/7/2024) lalu.
Selengkapnya, Pasal 415 ayat (3) UU Pemilu berbunyi, “Dalam hal penghitungan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, suara sah setiap partai politik dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3; 5; 7; dan seterusnya.” Pemohon mengatakan, pasal ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945 yang mestinya diwujudkan melalui sarana pemilihan umum yang menggunakan sistem penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, bukan ditentukan berdasarkan suara partai dibagi dengan bilangan ganjil 1, 5, 7, 9, dan seterusnya atau dikenal dengan metode sainte lague.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N. Rosi
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.