JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya atas uji materiil Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara). Sidang Pengucapan Putusan Nomor 67/PUU-XXII/2024 digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Selasa (20/8/2024). Permohonan ini diajukan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA).
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, berhubungan dengan kewajiban negara dalam mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, tidak dapat dipisahkan dari masing-masing urusan pemerintahan yang termuat dalam Pasal 5 ayat (2) UU 39/2008. Tidak adanya kementerian yang dibentuk khusus untuk membidangi “urusan adat”, tidak berarti negara mengabaikan upaya pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat.
Pembentukan kementerian urusan adat yang secara khusus mengurusi kepentingan masyarakat hukum adat, dapat mempersulit koordinasi dan menimbulkan tumpang tindih kewenangan. Sebab dalam penerapannya, terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang bersinggungan dengan kepentingan masyarakat hukum adat atau bahkan di dalamnya melekat “urusan adat”.
Perbaikan Koordinasi Antara Kementerian
Sementara persoalan yang didalilkan Pemohon mengenai anggapan kurangnya perhatian dan perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat, Mahmakah berpendapat seharusnya dapat diselesaikan dengan memperbaiki koordinasi antara kementerian yang urusan pemerintahannya bersinggungan dengan kepentingan masyarakat hukum adat. Sejatinya perlindungan terhadap masyarakat hukum adat dalam koordinasi penyelenggaran pemerintahan, memerlukan dukungan dasar hukum yang kuat dalam bentuk undang-undang.
Untuk itu, pembentuk undang-undang harus meletakkan pembentukan dan pengesahan undang-undang yang khusus mengatur mengenai masyarakat hukum adat sebagai prioritas yang harus dilaksanakan. Terlebih, RUU mengenai Masyarakat Hukum Adat telah beberapa kali dimasukkan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Hal ini sejalan dengan penyebutan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang perlu diatur dalam undang-undang.
Semestinya disikapi sebagai perintah konstitusi untuk membentuk undang-undang mengenai masyarakat hukum adat. Dengan demikian, sejumlah persoalan dan permasalahan konkret yang diungkapkan para Pemohon dalam dalilnya dapat diatasi dan disikapi apabila telah terdapat undang-undang yang khusus mengatur tentang masyarakat hukum adat. Sehingga, persoalan urusan pemerintahan yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat yang sudah dilaksanakan oleh berbagai kementerian dapat terkoordinasi dengan baik.
“Adanya sejumlah persoalan seperti demikian tidak dapat menjadi dasar untuk menafsirkan atau memasukkan kata “adat” dalam urusan pemerintahan dalam norma Pasal 5 ayat (2) UU 39/2008. Dengan demikian, dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 5 ayat (2) UU 39/2008 bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut tidak beralasan menurut hukum,” jelas Enny.
Baca juga:
Menyoal Masyarakat Hukum Adat yang Termarjinalkan dalam Hukum Indonesia
APHA Sempurnakan Dalil Menyoal Masyarakat Hukum Adat yang Termarjinalkan dalam Hukum Indonesia
Dalam Sidang Pendahuluan lalu yang digelar Senin (22/7/2024), Pemohon menyebutkan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebab dalam urusan pemerintahan, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat masih sebatas formalitas saja. Mereka hanya dijadikan sebagai objek peraturan, namun tidak diberikan kesempatan untuk menjadi subjek dari suatu peraturan. Bahkan masyarakat hukum adat termarjinalkan dalam proses pembangunan, utamanya terkait keberadaan tanah adat atau ulayat milih masyarakat adat tersebut. Selain itu, dalam menyelesaikan masalah yang terkait dengan masyarakat adat diakui Pemohon terdapat benturan antara hukum adat dan hukum nasional Indonesia.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Pemohon juga meminta agar Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: “Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, masyarakat hukum adat, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.” (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan