JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutus tidak dapat diterima permohonan Perkara Nomor 71/PUU-XXII/2024 dan 73/PUU-XXII/2024 yang menguji materi Pasal 7 ayat (2) huruf o Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Kedua perkara ini mempersoalkan ketentuan mengenai syarat belum pernah menjabat sebagai gubernur untuk calon wakil gubernur atau bupati/wali kota untuk calon wakil bupati/calon wakil walikota pada daerah yang sama.
Mahkamah juga memutus tidak dapat diterima permohonan Perkara Nomor 72/PUU-XXII/2024 yang menguji materi Pasal 7 ayat (2) huruf c, huruf e, dan huruf n UU Pilkada. Perkara ini mempersoalkan ketentuan mengenai syarat berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat, usia paling rendah untuk calon kepala daerah, serta belum pernah menjabat sebagai kepala daerah maupun wakil kepala daerah selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk calon kepala daerah maupun calon wakil kepala daerah.
Perkara Nomor 71/PUU-XXII/2024
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan, Mahkamah sulit untuk memahami seluruh rumusan petitum permohonan Pemohon Perkara Nomor 71/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan mantan Gubernur Kepulauan Riau Isdianto. Artinya, secara formal rumusan yang dimohonkan dalam perkara ini bukanlah rumusan petitum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021.
Terlebih, petitum yang demikian tidak sesuai dengan kelaziman petitum dalam perkara pengujian undang-undang di MK. Dengan demikian, karena petitum Pemohon tidak sesuai dengan rumusan petitum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d PMK 2/2021, Mahkamah berpendapat, permohonan a quo tidak jelas atau kabur (obscuur).
“Karena petitum permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur) sehingga tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021, Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan permohonan lebih lanjut,” kata Saldi.
Baca juga:
Pemohon Ajukan Provisi Mohon Perkara Diputus Sebelum Pencalonan Kepala Daerah
Ingin Maju Pilkada Terganjal Ketentuan Syarat Belum Pernah Jabat Kepala Daerah
Perkara Nomor 73/PUU-XXII/2024
Sementara itu, Saldi Isra mengatakan, keberlakuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada tidak merugikan atau menghalangi hak konstitusional para Pemohon untuk berpartisipasi mengajukan diri sebagai calon kepala daerah. Dalam hal ini, pengaturan dimaksud tidak menghalangi para Pemohon, tetapi membatasi orang yang pernah menjabat sebagai gubernur untuk calon wakil gubernur atau bupati/walikota untuk calon wakil bupati/wakil walikota pada daerah yang sama.
Artinya, jika benar-benar ingin berpartisipasi membangun daerah dengan cara mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah atau wakil kepala daerh, para Pemohon seharusnya berupaya mencari calon wakil kepala daerah yang tidak terhambat oleh ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada. Dengan demikian, tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan para Pemohon yang terdiri dari John Gunung Hutapea (Pemohon I), Deny Panjaitan (Pemohon II), Saibun Kasmadi Sirait (Pemohon III), serta Elvis Sitorus (Pemohon IV) tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.
“Karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut,” ujar Saldi.
Perkara Nomor 72/PUU-XXII/2024
Hakim Konstitusi Arsul Sani mengatakan, Mahkamah tidak menemukan uraian bahwa Pemohon adalah pemilih atau warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dalam pemilihan kepala daerah 2024 maupun uraian yang menjelaskan keinginannya untuk mencalonkan atau dicalonkan dalam pilkada. Warga Tangerang bernama Zulferinanda selaku Pemohon perkara ini hanya menguraikan sebagai warga dearah yang tidak ingin daerah atau kampung halaman terbelakang dan daerah domisilinya tidak berkembang jika dipimpin oleh kepala daerah yang tidak bisa memajukan dan mensejahterahkan daerahnya.
Karena itu, Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian atau potensi yang dialami atau akan dialami oleh Pemohon dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian. Sehingga, menurut Mahkamah, tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara norma yang diujikan dengan kerugian hak konstitusional, sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 51 UU MK serta Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005, 11/PUU-V/2007, dan putusan-putusan setelahnya.
Padahal norma yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon adalah norma mengenai persyaratan menjadi calon kepala daerah antara lain syarat minimum pendidikan, syarat minimum usia, dan pembatasan masa jabatan, yang merupakan salah satu norma inti pemilihan kepala daerah. Mahkamah menilai Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam perkara a quo.
“Dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan,” tutur Arsul. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina