JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan Ketetapan Nomor 94/PUU-XXII/2024 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU 24/2009), terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Selasa (20/8/2024), di Ruang Sidang MK. Mahkamah menyatakan permohonan gugur karena Pemohon tidak menghadiri persidangan.
Permohonan Perkara Nomor 94/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Ratri Aisa Wulandari. Pemohon menguji Pasal 25 Ayat 1 UU 24/2009 yang menyatakan, “Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa”.
Dalam pertimbangan yang disampaikan oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi, Mahkamah mengatakan telah menjadwalkan persidangan Pemeriksaan Pendahuluan pada 6 Agustus 2024 dengan agenda mendengarkan permohonan Pemohon. Berkenaan dengan hal tersebut, Pemohon telah dipanggil secara sah dan patut dengan surat Panitera Mahkamah Nomor 258.94/PUU/PAN.MK/PS/07/2024, bertanggal 31 Juli 2024, perihal Panggilan Sidang. Mahkamah melalui Juru Panggil juga telah menghubungi Pemohon melalui pesan WhatsApp dan telepon. Namun, hingga persidangan pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 6 Agustus 2024, Pemohon tidak merespons. Terlebih, Panel Hakim telah membuka sidang pemeriksaan Pendahuluan dan memanggil Pemohon untuk memasuki ruang sidang, namun Pemohon tidak hadir.
Berdasarkan ketentuan Pasal 41 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) menyatakan, "Dalam hal Pemohon dan/atau kuasa hukum tidak hadir dalam Pemeriksaan Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, Mahkamah menyatakan Permohonan gugur".
“Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf c dan huruf d di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 8 Agustus 2024, telah berkesimpulan bahwa ketidakhadiran Pemohon pada sidang pertama menunjukkan Pemohon tidak sungguh-sungguh dalam mengajukan permohonan. Terhadap panggilan sidang yang telah disampaikan secara sah dan patut oleh Mahkamah, maka setiap warga negara harus memenuhinya kecuali berhalangan dengan alasan yang sah. Dengan demikian, permohonan Pemohon harus dinyatakan gugur,” tegas Suhartoyo.
Baca juga:
Sidang Perdana Uji Bahasa Indonesia Tidak Dihadiri Pemohon
Sebelumnya, Mahkamah menggelar sidang pengujian UU 24/2009 pada Selasa (6/8/2024), di Ruang Sidang MK. Agenda sidang yaitu pemeriksaan pendahuluan. Permohonan Perkara Nomor 94/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Ratri Aisa Wulandari yang menguji Pasal 25 Ayat 1 UU 24/2009.
Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara tersebut dilaksanakan oleh majelis panel hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur Bersama Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Dalam persidangan, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyampaikan bahwa Mahkamah telah mengirimkan surat panggilan kepada Pemohon sebanyak dua kali. Mengingat Pemohon tidak memenuhi panggilan tersebut tanpa alasan yang sah, maka sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021, permohonan ini berpotensi dinyatakan gugur. Kendati demikian, panel hakim akan membawa perkara ini ke Rapat Permusyawaratan Hakim untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
Pokok Permohonan
Pemohon dalam permohonannya menyebutkan bahwa pasal tersebut tidak mempunyai kepastian hukum dan memberikan celah legalitas kepada pembentuk peraturan perundang-undangan serta menimbulkan konflik kepentingan terhadap masyarakat. Pada prinsipnya, Pemohon merasa ketentuan tersebut menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi.
Pemohon mengungkapkan bahwa bahasa yang dimaksud tidak dapat digunakan untuk berkomunikasi lisan dan tulis yang bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945. Pemohon juga berpendapat apabila permohonannya tidak dikabulkan, bangsa Indonesia akan mempunyai undang-undang yang anomali tanpa tata cara penggunaan selamanya.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan pasal 25 ayat (1) UU 24/ 2009 bertentangan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang Pasal 25 ayat (1) UU a quo tidak dimaknai sebagai "Bahasa lisan negara ialah bahasa lisan Indonesia dan bahasa tulis negara ialah bahasa tulis Indonesia serta aksara negara ialah aksara Indonesia." Dan sepanjang tidak dimaknai dengan “untuk memenuhi hak sebagaimana dimaksud pada perkara a quo pembentuk peraturan Perundang-Undangan wajib menghadirkan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful partisipation) dalam setiap tahapan pembentukan perturan perundang-undangan. Serta sepanjang tidak dimaknai, "Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan wajib menjelaskan dan mempublikasikan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat sebagaimana dimaksut pada perkara a quo
selambat lambatnya atau paling lama satu minggu terhitung sejak masukan
termaksud diterima oleh Pembentuk Peraturan Perundang Undangan dan sepanjang tidak dimaknai dengan "Ketentuan lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada perkara a quo diatur dalam undang-undang yang wajib diundangkan selambat lambatnya atau paling lama dua belas hari kerja sejak putusan Mahkamah Konstitusi ditetapkan.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.