JAKARTA, HUMAS MKRI - Yayasan Dompet Dhuafa Republika, Perkumpulan Forum Zakat Jakarta, serta Arif Rahmadi Haryono mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UU Pengelolaan Zakat) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Pasal-pasal yang diuji adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 38, Pasal 41, Pasal 43 ayat (3), dan Pasal 43 ayat (4) UU Pengelolaan Zakat.
Para Pemohon, baik sebagai lembaga maupun pribadi perorangan, dalam kegiatannya berhubungan erat dengan praktik pengelolaan zakat. Pemohon yang merupakan muzaki mengalami hambatan dan kerugian dalam kegiatannya dikarenakan dengan adanya pengaturan tentang pengelolaan zakat dalam pasal dan/atau ayat dalam UU Pengelolaan Zakat yang Para Pemohon anggap merugikan Para Pemohon. Lembaga-lembaga bentukan masyarakat yang telah lebih dahulu berdiri tersebut telah dan masih melakukan edukasi, kampanye, sosialisasi tentang Zakat Infak Sedekah (ZIS) secara bertahap sampai saat ini.
Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang telah ada terlebih dahulu, berharap adanya kesetaraan peran dan tugas antara Baznas dan LAZ, sebagai pembagian jenis bank pemerintah (plat merah) dan bank milik swasta (plat hitam) yang memiliki kesetaraan tetapi dibedakan dengan Bank Indonesia. Bank Indonesia bertanggung jawab atas kebijakan moneter, mengatur dan mengawasi sistem keuangan, serta menjaga stabilitas nilai mata uang rupiah.
Para Pemohon melihat adanya Pasal 5 ayat (1) UU Pengelolaan Zakat memperlihatkan secara tersirat dan tersurat bahwa tujuan utama pembentukan Baznas adalah untuk mengambil alih pengumpulan zakat yang selama ini sudah dilakukan masyarakat untuk kemudian dikelola negara dan menegasikan sejarah pengelolaan masyarakat terhadap zakat. Padahal pernah terjadi, di saat Baznas baru dibentuk, untuk memberikan pembelajaran dan pengalaman kepada Baznas, dilakukan kerjasama pengelolaan zakat antara Baznas dan Yayasan Dompet Dhuafa Republika, saat itu dikenal sebagai Baznas Dompet Dhuafa. Kerja sama tersebut dilaksanakan karena Baznas belum memiliki pengalaman dalam bidang pengelolaan zakat.
“Kami melihat bahwa negara kemudian ingin turut serta mengelola dana keagamaan umat Islam, sebenarnya ini tidak apa-apa Yang Mulia, tapi kemudian kami berharap ada aspek historis yang dipertimbangkan oleh negara, oleh pembuat undang-undang pada saat itu,” ujar kuasa hukum para Pemohon, Evi Risna Yanti dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 97/PUU-XXII/2024 pada Selasa (6/8/2024).
Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut melupakan historis misalnya tidak melibatkan lembaga pengelola zakat yang sudah ada sebelum berdirinya Baznas dalam merancang peraturan tentang pengelolaan zakat ini. Undang-undang ini juga tidak memfasilitas lembaga-lembaga pengelola zakat dari masyarakat.
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 38 dan Pasal 43 ayat (4) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk memaknai kembali Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 41, dan Pasal 43 ayat (3) UU Pengelolaan Zakat sesuai dengan yang diinginkan Pemohon.
Nasihat Hakim
Sidang ini dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur. Anwar mengatakan, para Pemohon perlu mengelaborasi kedudukan hukum dengan kerugian konstitusional para Pemohon akibat berlakunya pasal-pasal yang diuji tersebut sekaligus pertentangannya dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang menjadi batu uji atau dasar pengujian.
“Kemudian hal yang kedua dan ini mungkin boleh dikatakan sangat penting juga para Pemohon bisa melakukan perbandingan dengna negara-negara lain dalam hal pengumpulan zakat,” kata Anwar.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan