JAKARTA, HUMAS MKRI - Leonardo Olefins Hamonangan (Pemohon I) dan Ricky Donny Lamhot Marpaung (Pemohon II) selaku warga negara Indonesia, mengajukan uji Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) ke Mahkamah Konstitusi (MK) . Sidang Mejelis Panel terhadap Perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024 ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah bersama dengan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur di Ruang Sidang Pleno, Gedung 2 MK pada Senin (5/8/2024).
Para Pemohon mengujikan Pasal 7 ayat (1) dan ayat 2, Pasal 72 ayat (1) huruf c UU Tapera. Menurut para Pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Pasal 7 ayat (1) UU Tapera menyatakan, “Setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta”. Pasal 7 ayat (2) UU Tapera menyebutkan, “Pekerja mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berpenghasilan di bawah upah minimum dapat menjadi peserta”. Pasal 72 ayat (1) huruf c UU Tapera berbunyi, “Peserta, pemberi kerja, BP Tapera, bank/perusahaan pembiayaan, bank kustodian, dan manajer investasi yang melanggar ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 12, Pasal 14 ayat (4), Pasal 18 ayat (1), dan ayat (3, Pasal 19, Pasal 30, Pasal 64, Pasal 66, Pasal 67 ayat (1), dan Pasal 68 dikenai sanksi administratif berupa : … c. memublikasikan ketidakpatuhan pemberi kerja.”
Ricky menyatakan kewajiban Tapera menguras pendapatan masyarakat rendah, sedangkan biaya hidup semakin tinggi dan ditambah pula adanya potongan upah untuk BPJS dan biaya lainnya. Pemohon I yang bekerja sebagai karyawan swasta nantinya akan mengalami pemotongan gaji sebesar 3% untuk simpanan Tapera, sehingga ini menambah beban finansial.
Bahkan menurut para Pemohon, Pasal 7 ayat (3) UU Tapera dapat menimbulkan ketidakjelasan tolok ukur penetapan peserta Tapera. Apakah kepesertaan menjadi anggota Tapera saat seseorang berusia 20 tahun atau saat sudah kawin. Dengan demikian, frasa “atau” menimbulkan celah hukum yang memungkinkan bagi pekerja yang sudah bekerja tetapi belum kawin untuk mengulur menjadi peserta Tapera. Konsidi ini membuat Pemohon I diperlakukan tidak adil dan tidak mendapatkan kepastian hukum.
Sementara untuk Pemohon II yang menjadi pelaku UMKM merasa dirugikan dengan pasal-pasal tersebut karena mempengaruhi pendapatannya yang harus mengeluarkan sejumlah iuran sebesar 3% dari pendapatan sebagai pekerja mandiri. Terlebih lagi, pada pasal-pasal tersebut bagi pelaku usaha akan dikenakan sanksi berupa pembekuan dan pencabutan izin usaha yang sangat memberatkan dan merugikan secara finansial dan prinsip bisnis. Ketiadaan tolok ukur yang jelas dan tahap-tahap pengenaan sanksi terhadap pekerja mandiri ini berpotensi melanggar hak konstitusionalitas Pemohon II.
“Kekhawatiran dirasakan para Pemohon sangat berpotensi menyebabkan kerugian konstitusional karena simpanan Tapera akan disalahgunakan atau susah dikembalikan pada saat para Pemohon sudah memasuki usia pensiun,” sampai Ricky.
Kerugian Konstitusional
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam nasihat Majelis Sidang Panel mengatakan agar para Pemohon menguraikan secara komprehensif pertentangan norma yang diujikan dengan pasal-pasal dalam konstitusi yang dijadikan landasan pengujian. “Sehingga dengan penguatan ini akan berdampak pada petitium yang kemudian dapat diselaraskan dengan positanya. Selain itu perlu juga para Pemohon buatkan perbandingan jika diberlakukannya norma ini atau konsep pelaksanaan Tapera di negara lain, sehingga dapat dilihat secara komprehensif persoalan normanya,” kata Enny menasihati.
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menambahkan, para Pemohon perlu memperhatikan kontradiksi norma yang diuji dengan dasar pengujian yang ada pada konstitusi yang ada pada bagian kedudukan hukum. “Ini posita rasa legal standing, sehingga ini diperbaiki kembali. Kemudian pada bagian petitum dicermati kembali karena ada beberapa yang menimbulkan ketidakpastian hukum jika permohonan ini dikabulkan,” jelas Guntur.
Sebelum menutup persidangan Guntur mengatakan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonannya. Kemudian naskah perbaikan tersebut dapat diserahkan ke Kepaniteraan MK pada Senin, 19 Agustus 2024 pukul 13.00 WIB.
Penulis : Sri Pujianti
Editor: N. Rosi
Humas: Fauzan F.