JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Malang mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (05/08/2024). Tujuan kunjungan dari 27 mahasiswa tersebut yaitu untuk memperdalam pemahaman mengenai lembaga peradilan di Indonesia. Kunjungan ini diisi dengan diskusi interaktif dan paparan menarik oleh Asisten Ahli Hakim Konstitusi (Asli), Ananthia Ayu Devitasari, bertempat di Ruang Delegasi, Gedung 1 MK.
Ayu dalam paparannya bicara tentang sejarah terbentuknya MK. Dikatakan Ayu, sebelum Indonesia merdeka, pusat kekuasaan hukum berada di Balai Agung. Seiring perkembangan zaman dan tuntutan akan sistem hukum yang lebih modern, gagasan mengenai lembaga yang khusus mengadili perkara konstitusional mulai mengemuka. Konsep ini pernah diusulkan oleh M. Yamin yang mengusulkan adanya Balai Agung yang dapat menguji undang-undang. Namun, ide ini belum dapat terwujud pada masa itu. Setelah kemerdekaan, Mahkamah Agung dibentuk sebagai lembaga peradilan tertinggi. Namun, kebutuhan akan lembaga yang secara khusus mengadili perkara konstitusional terus berkembang.
Puncaknya, setelah amendemen UUD 1945, MK resmi dibentuk. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK memiliki peran yang sangat strategis dalam menjaga supremasi hukum dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara dengan kewenangannya, yakni menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa antar lembaga negara, memutus perselisihan hasil pemilihan umum, dan memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Seiring dengan perkembangan waktu dan dinamika politik, kewenangan MK terus berkembang. Pasca Putusan Nomor 85/PUU-XX/2022, MK kini juga berwenang memeriksa dan memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada), sehingga memperkuat kedudukannya sebagai penjaga konstitusi.
“Sebentar lagi kita akan menghadapi Pilkada serentak terbesar dalam sejarah. Mahkamah Konstitusi (MK) diberikan amanah untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada tersebut,” terang Ayu.
Lebih lanjut Ayu menjelaskan tidak semua orang dapat menjadi pihak dalam sengketa hasil Pilkada. Dalam perselisihan Pilkada, pihak yang dapat mengajukan permohonan adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih sedikit.
“Dahulu, bahkan pasangan calon yang memperoleh suara lebih banyak pernah menjadi pemohon, namun sekarang MK membatasi hanya pasangan calon dengan suara lebih sedikit. Pasangan calon yang memperoleh suara lebih banyak bisa menjadi pihak terkait. Untuk perselisihan hasil Pilkada, termohonnya adalah KPU/KIP provinsi atau KPU kabupaten/kota setempat, berbeda dengan sengketa legislatif yang termohonnya adalah KPU RI. Bawaslu juga berperan sebagai pemberi keterangan dalam proses ini,” jelas Ayu.
MK juga memiliki kewenangan yang unik, yaitu pembubaran partai politik. Kewenangan ini cukup istimewa karena pemohon pembubaran partai politik adalah Presiden yang diwakili oleh Jaksa Agung atau menteri yang ditunjuk. Selain itu, MK wajib memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai dugaan pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Dalam sesi tanya jawab, salah seorang mahasiswa menanyakan soal pembubaran partai politik. Ayu menjelaskan bahwa mendirikan organisasi adalah salah satu hak konstitusional warga negara yang sangat dilindungi. Pada masa Orde Baru, kemerdekaan berserikat sangat ditekan, sehingga penting untuk melindungi kebebasan ini, termasuk dalam mendirikan partai politik. Partai politik adalah pengejawantahan dari kemerdekaan berserikat, sehingga tidak bisa dengan mudah dibubarkan oleh sembarang pihak. Hanya pemerintah yang diwakili oleh Jaksa Agung dan/atau Menteri yang ditugasi oleh Presiden yang memiliki wewenang tersebut.
Penulis: Fauzan F.
Editor: N. Rosi