JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan Didi Apriadi yang merupakan anggota Partai Persatuan Pembangunan perkara pengujian Undang-Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Didi Apriadi (Pemohon) mempersoalkan soal ambang batas parlemen dalam Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu yang menyebutkan, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR”.
“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo didampingi delapan hakim konstitusi dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 45/PUU-XXII/2024.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon mengenai konstitusionalitas norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023, pada pokoknya memiliki dasar argumentasi yang dapat dikatakan tidak begitu berbeda dengan dasar argumentasi permohonan a quo, karena sama-sama berpendirian bahwa angka atau persentase ambang batas dalam norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, Pemohon dalam permohonan a quo menerima semua pertimbangan Mahkamah berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017. Perbedaan mendasar antara pemaknaan baru norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 dalam Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023 dengan permohonan a quo adalah berkenaan dengan waktu pemberlakuan makna baru dimaksud. Ihwal ini, Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023 berlaku pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu-pemilu berikutnya. Sementara itu, dalam permohonan a quo, Pemohon memohon kepada Mahkamah agar pemaknaan baru norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 seperti termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-XXI/2023 tersebut mulai diberlakukan sejak hasil Pemilu 2024.
Lebih lanjut Arief mengatakan, berkenaan dengan penentuan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak didasarkan pada dasar metode dan argumen yang memadai, secara nyata telah menimbulkan disproporsionalitas hasil pemilu, in casu total jumlah suara sah secara nasional, dengan jumlah kursi DPR, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon dalam permohonan a quo.
Dengan pertimbangan hukum seperti dikutip di atas, Mahkamah telah menyatakan pada pokoknya norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 tetap konstitusional untuk menyelesaikan tahapan penyelenggaraan pemilu DPR 2024. Namun demikian, untuk Pemilu 2029 dan pemilu-pemilu berikutnya, harus dilakukan perubahan atas norma ambang batas parlemen dimaksud. Oleh karena permasalahan atau isu pokok yang dijadikan sebagai alasan pengujian dalam permohonan a quo telah dijawab dan ditegaskan sebagaimana dikutip di atas, maka pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023 tersebut mutatis mutandis berlaku pula untuk pertimbangan hukum permohonan a quo.
Selain itu, sambung Arief, perihal permohonan Pemohon agar pemaknaan baru Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023 atas Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 diberlakukan terhadap hasil Pemilu 2024, Mahkamah perlu menegaskan kembali bahwa pembentuk undang-undang memerlukan kajian yang komprehensif dengan menggunakan dasar metode dan argumentasi yang kuat untuk dapat menentukan keberadaan ambang batas parlemen dimaksud.
“Oleh karena itu, diperlukan waktu yang cukup untuk membahas ambang batas parlemen sebagai bagian dari upaya mewujudkan kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Terlebih, Mahkamah tidak memiliki alasan yang kuat dan mendasar untuk bergeser dan berubah pendirian dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023. Dalam hal ini, Mahkamah perlu menegaskan, makna baru dimaksud tidak relevan dikaitkan dengan perlakuan diskriminatif sebagaimana termaktub dalam Pasal 281 ayat (2) UUD 1945. Terlebih lagi, seandainya Mahkamah memberlakukan norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 sesuai dengan pemaknaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-XXI/2023 terhadap hasil Pemilu 2024 maka dalam batas penalaran yang wajar, hal demikian akan merusak prinsip kepastian hukum yang adil dalam penyelesaian tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” tegas Arief membacakan pertimbangan hukum.
Baca juga:
Kader PPP Uji Ambang Batas Parlemen
Kader PPP Perbaiki Permohonan Uji Ambang Batas Parlemen
Sebagai informasi, Permohonan perkara Nomor 45/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Didi Apriadi, anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pemohon mempersoalkan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.
Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, M. Malik Ibrohim dalam persidangan dalam persidangan pendahuluan di MK, Rabu (03/07/2024) menjelaskan bahwa partai Pemohon (PPP) meraih 5.878.777 suara sah secara nasional dalam Pemilu Anggota DPR RI 2024 atau setara dengan 3,87%. Akibat berlakunya norma pasal yang mengatur batas perolehan suara (parliamentary threshold) paling sedikit 4% tersebut, jutaan suara yang telah dipercayakan kepada PPP menjadi sia-sia. Menyadari banyaknya perkara yang telah menguji norma yang sama, Pemohon pun menegaskan bahwa apa yang dipersoalkannya tidak ne bis in idem.
“Pemohon berkeyakinan bahwa selama norma a quo tetap diberlakukan, maka akan terus terjadi disproporsionalitas atau ketidaksetaraan antara suara pemilih dan jumlah partai politik di DPR. Lebih jauh lagi, Pemohon berpandangan bahwa tanpa adanya konversi suara pemilih menjadi kursi DPR, telah nyata norma a quo bertentangan dengan kedaulatan rakyat.
Oleh karena itu, Pemohon berkesimpulan bahwa parliamentary threshold berdasarkan Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon dan partai Pemohon. Sehingga, pada petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak Pemilu DPR 2024.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: N. Rosi.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.