JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang Pengujian Materiil Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap UUD 1945, kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (30/7/2024). Agenda sidang yaitu Pemeriksaan Perbaikan Permohonan Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faizal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Para Pemohon merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Dalam persidangan yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra, Para Pemohon yang hadir secara luring memaparkan permohonan yang telah diperbaiki. Enika Maya Oktavia (Pemohon I) mengatakan telah memperkuat kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon sebagai warga negara Indonesia dengan status sebagai pemilih dalam pemilu dan dibuktikan dengan daftar pemilih tetap.
“Untuk memperkuat kedudukan Pemohon, kami juga telah menjelaskan lebih dalam mengenai landasan konstitusional kami dalam menjelaskan hak-hak konstitusional yang dirugikan yakni Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2). Hak-hak tersebut dirugikan dengan berlakunya norma a quo terutama dalam kapasitas Para Pemohon sebagai pemilih yang membatasi Para Pemohon untuk mendapatkan pilihan yang terbatas dalam pemilihan presiden dan wakil presiden,” urai Enika.
Kemudian, sambung Enika, pada bagian Posita, Para Pemohon mengkonstruksikan bagian posita ke dalam empat bagian alasan yaitu, permohonan dapat diajukan kembali, tidak ne bis in idem; Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 64 ayat (2) UU 1945 karena melanggar asas pemilu periodik dan menyebabkan distorsi representasi; ketentuan pasal tersebut yang melanggar batasan open legal policy; dan asas pemilu periodik menyebabkan terlanggarnya hak-hak warga negara sebagai pemilih untuk mengembangkan diri secara kolektif dan hak atas kepastian hukum.
Baca juga:
Empat Mahasiswa Uji Batasan “Open Legal Policy” dan “Presidential Threshold”
Sebelumnya, empat Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga yaitu Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faizal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna mengujikan Pasal 222 UU Pemilu. Para Pemohon Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 ini mengalami kerugian konstitusional akibat pemberlakuan Pasal 222 UU Pemilu, terkait keberadaan presidential threshold (PT) yang mengatur persyaratan calon presiden untuk mengumpulkan sejumlah dukungan politik tertentu. Para Pemohon melihat hal ini sebagai langkah yang merugikan moralitas demokrasi para Pemohon.
Menurut para Pemohon, keberadaan Pasal 222 UU Pemilu melanggar batasan open legal policy terkait moralitas, terbukti menggerus moralitas demokrasi dengan adanya agregasi partai politik yang mengakibatkan tidak berjalannya fungsi partai politik. Prinsip "one man one vote one value" tersimpangi oleh adanya presidential threshold. Hal ini menimbulkan penyimpangan pada prinsip "one value" karena nilai suara tidak selalu memiliki bobot yang sama. Idealnya, nilai suara seharusnya mengikuti periode pemilihan yang bersangkutan. Namun, dalam kasus presidential threshold, nilai suara digunakan untuk dua periode pemilihan, yang dapat mengarah pada distorsi representasi dalam sistem demokrasi.
Untuk itu, Para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 222 UU Pemilu melanggar batasan open legal policy (moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable) dan bertentangan dengan UUD 1945 serta menyatakan presidential threshold pada Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan moralitas demokrasi.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: N. Rosi.
Humas: Fauzan F.