JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan/ketetapan pada Selasa (30/7/2024). Mahkamah menyatakan permohonan Perkara Nomor 57/PUU-XXII/2024 gugur karena Pemohon tidak menghadiri sidang pemeriksaan pendahuluan meskipun Mahkamah telah memanggil secara sah dan patut.
“Menetapkan, menyatakan permohonan Pemohon gugur,” ucap Ketua MK Suhartoyo didampingi delapan hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Suhartoyo menjelaskan, Mahkamah menjadwalkan persidangan pendahuluan pada 9 Juli 2024 dengan agenda mendengarkan permohonan Pemohon. Sebelum persidangan itu, Mahkamah menerima surat permohonan bertanggal 15 Mei 2024 yang pada pokoknya Pemohon mencabut atau menarik kembali permohonan dan tidak meneruskannya.
Untuk mengonfirmasi surat permohonan penarikan kembali dimaksud, Mahkamah telah memanggil Pemohon dengan sah dan patut dengan surat Panitera Mahkamah bertanggal 28 Juni 2024. Sehari sebelum sidang, Juru Panggil Mahkamah mengonfirmasi kehadiran Pemohon melalui pesan whatsapp, tetapi Pemohon juga tidak hadir dalam persidangan.
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada 10 Juli 2024 berkesimpulan bahwa ketidakhadiran Pemohon pada sidang pertama menunjukkan Pemohon tidak sungguh-sungguh dalam mengajukan permohonan. Sebagaimana Pasal 41 ayat (4) Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujuan Undang-Undang, Mahkamah menyatakan permohonan gugur dalam hal Pemohon dan/atau kuasa hukum tidak hadir dalam pemeriksaan pendahuluan tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara sah dan patut.
Baca juga: Anggota PPP Uji Ambang Batas Parlemen Tidak Hadiri Sidang Pendahuluan
Sebelumnya, Wakil Ketua MK Saldi Isra selaku pimpinan Majelis Hakim Panel menyebut Pemohon Perkara Nomor 57/PUU-XXII/2024 tidak serius karena tidak menghadiri sidang pendahuluan pengujian undang-undang pada Selasa (9/7/2024) lalu. Pemohon adalah anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bernama Pasai yang mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengenai ambang batas perolehan suara parlemen atau parliamentary threshold.
“Kalau dari laporan Kepaniteraan sudah dipanggil beberapa kali dihubungi dan terakhir kita sudah cek juga tidak ada, artinya ini permohonan tidak serius, Pemohon tidak serius, dan nanti akan dibahas di Rapat Permusyawaratan Hakim,” ucap Saldi didampingi Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 MK, Jakarta. Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi itu pun lantas menutup persidangan dengan persetujuan kedua hakim konstitusi lainnya.
Berdasarkan berkas permohonan yang diakses melalui laman MKRI, Pemohon menganggap ketentuan ambang batas perolehan suara parlemen dalam UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Ketentuan dimaksud diatur Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu yang berbunyi, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.”
Pemohon menyebut telah mengalami kerugian konstitusional akibat adanya aturan ambang batas parlemen sebesar 4 persen tersebut. Ketentuan yang demikian telah merugikan Pemohon karena Pemohon menganggap suara Pemohon menjadi sia-sia karena perolehan suara sah PPP secara nasional dalam pemilu anggota DPR RI 2024 sejumlah 5.878.777 suara dari 84 daerah pemilihan (dapil) atau setara dengan 3,87 persen dan karenanya keberlakuan Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 telah menafikan hak Pemohon yang telah memberikan suara dalam pemilu anggota DPR RI 2024.
Pemohon memaparkan, ketentuan Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena mengabaikan hak pemberian suara, sehingga suara Pemohon menjadi hangus atau tidak memiliki arti dalam pemilu. Suara yang hilang dan terbuang secara percuma karena kursi tersebut tidak dapat diberikan kepada partai lain.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 dan Pasal 427D UU 2/2018 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak Pemilu DPR 2024.
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina