JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahasiswa Universitas PTIQ Program Studi Keluarga Islam mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (29/7/2024). Kunjungan tersebut diterima langsung oleh dua Asisten Ahli Hakim Konstitusi (ASLI) Muhammad Reza Winata dan Rima Yuwana Yustikaningrum di Ruang Delegasi Lantai 4 Gedung I MK. Adapun tujuan sejumlah 49 orang mahasiswa tersebut berkunjung ke MK adalah untuk memotivasi dan pegangan para mahasiswa dalam mencapai cita-cita.
“Saya kira MK bagian dari lembaga hukum yang menaungi dari calon sarjana hukum,” ujar Asep sebagai dosen pendamping.
Dalam paparannya, Reza menyampaikan keberadaan MK merupakan proses dari kontemplasi dari para founding fathers dan pengubah UUD pada era reformasi yang terinspirasi dari berbagai lembaga yang ada di dunia.
“Secara historis, di dunia itu, lembaga yang pertama kali memiliki kewenangan judicial review atau menguji UU yang dibentuk oleh pembentuk UU di lembaga peradilan itu berada di Amerika dalam kasus Marbury vs Madison. Tetapi tentu kelembagaannya berbeda dengan MK di Indonesia dan juga proses judicial reviewnya juga belum terlembaga dalam konstitusi,” sebut Reza.
Dalam konteks sejarah berdirinya Indonesia, Reza menyebut ide kelembagaan MK sudah ada semenjak era kemerdekaan, namun terdapat perdebatan antara Moh. Yamin dan Soepomo apakah perlu adanya proses pengawasan di lembaga peradilan kepada pembentuk undang-undang, Sehingga akhirnya dibentuklah lembaga MK pada 2003 atau tepatnya setelah amendemen UUD disepakati oleh pengubah UUD.
“MK merupakan lembaga yang lahir pasca-amendemen yang merupakan komitmen para pengubah UUD atau orang-orang yang berada di MPR sebagai gerakan untuk menguatkan demokrasi, menjamin hak asasi manusia, menguatkan check and balances di antara lembaga negara yang merupakan refleksi terhadap kekurangan yang terjadi pada masa orde baru,” jelas Reza.
Sementara, Rima menyampaikan mengenai asas persidangan umum terbuka yang dimiliki MK menghendaki agar semua persidangan dapat diikuti oleh publik, sehingga hakim bisa bertindak lebih objektif. Kemudian, Rima juga menyinggung bahwa tiap putusan MK sifatnya itu final and binding artinya yang sudah dibacakan dalam sidang putusan oleh hakim MK sifatnya tidak dapat dibanding lagi. Berbeda jika beracara di pengadilan negeri bisa mengadukan banding ke pengadilan tinggi lalu ke Mahkamah Agung (MA).
Selanjutnya, Rima menyebut pemanfaatan teknologi di MK sendiri untuk pengajuan permohonan pengujian undang undang bisa melalui daring dapat diakses melalui laman atau luring dengan langsung ke MK. “Akses perkara ataupun akses putusan juga dapat diakses melalui website mkri.id, dan untuk persidangan pun juga dapat melalui persidangan secara online jika terkendala jarak atau pun biaya,” lanjutnya.
Usai mendengarkan paparan materi yang disampaikan oleh Reza dan Rima tersebut, para mahasiswa diajak mengelilingi Pusat Sejarah Konstitusi (Puskon) yang terletak di lantai 5 dan 6 Gedung I MK. Sebagai informasi, Puskon berisi tentang dokumentasi dinamika perjalanan sejarah konstitusi dan MK yang ditampilkan melalui perpaduan informasi, seni, dan teknologi. Melalui Pusat Sejarah Konstitusi, para mahasiswa dapat secara mudah memahami nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi berikut perjalanannya dalam garis sejarah bangsa Indonesia. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.