JAKARTA, HUMAS MKRI – Dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta, Fauzi Muhamad Azhar, dan Aditya Ramadhan Harahap mengajukan pengujian materi Pasal 70 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Para Pemohon Perkara Nomor 82/PUU-XXII/2024 mempersoalkan ketiadaan larangan keterlibatan presiden/wakil presiden, menteri/wakil menteri, serta kepala badan/lembaga negara dalam kampanye pilkada dalam ketentuan tersebut.
“Ketentuan norma a quo hanya melarang aparatur sipil negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia untuk dapat berkampanye. Namun terhadap jabatan presiden/wakil presiden, menteri/wakil menteri, serta kepala badan/lembaga negara itu tidak dilarang,” ujar kuasa hukum Pemohon, Viktor Santoso Tandiasa dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Senin (29/7/2024).
Pasal 70 ayat (1) huruf b UU Pilkada berbunyi, “(1) Dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan: b. aparatur sipil Negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia”. Menurut para Pemohon, tidak masuknya frasa presiden/wakil presiden, menteri/wakil menteri, serta kepala badan/lembaga negara dalam ketentuan norma tersebut telah menimbulkan kerugian yang dialami para Pemohon untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada.
Sebab, calon-calon kepala daerah yang bertarung dalam Pilkada tidak akan mendapatkan pertarungan yang adil apabila salah satu calonnya didukung dan dikampanyekan oleh presiden/wakil presiden, menteri/wakil menteri, serta kepala badan/lembaga negara. Para Pemohon menyebut Pasal 70 ayat (1) huruf b UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Selain itu, walaupun Indonesia menganut rule of law, tetapi untuk dapat mewujudkan demokrasi substansial maka di dalamnya harus juga terkandung rule of etic. Para Pemohon mengutip pendapat Prof Jimly Asshiddiqie dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengenai rule of law dan rule of etic yang harus berimbang penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keterlibatan penyelenggara negara seperti presiden/wakil presiden, menteri/wakil menteri, serta kepala badan/lembaga negara dalam kontestasi pilkada tentunya banyak menimbulkan persoalan. Selain menimbulkan ketidakadilan bagi peserta pilkada lainnya, juga rentan dengan penyalahgunaan kekuasaan.
“Mengingat dalam perhelatan Pemilu 2024 yang belum lama ini berlangsung telah terjadi banyak pelanggaran etik yang dilakukan oleh pimpinan lembaga-lembaga negara yang berdampak pada jatuhnya wibawa negara tidak hanya di mata masyarakat Indonesia namun juga di mata masyarakat internasional,” kata Viktor.
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar Pasal 70 ayat (1) huruf b UU Pilkada dimaknai menjadi: “b. Presiden/Wakil Presiden, menteri/wakil menteri, serta kepala Badan/Lembaga Negara, aparatur sipil Negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia.”
Nasihat Hakim
Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur. Ridwan mengatakan, pihak yang secara langsung berpotensi mengalami kerugian akibat ketentuan pasal yang diuji sebenarnya adalah calon kepala daerah. Karena itu, para Pemohon semestinya dapat menjelaskan potensi kerugian konstitusional dengan pasal tersebut yang dialami beserta kausalitasnya.
“Saudara belum menjelaskan sebenarnya secara spesifik atau potensial kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon ini akibat keberlakuan pasal a quo, pasal yang Saudara uji,” kata Ridwan.
Sementara itu, Suhartoyo mempertanyakan ketepatan ketentuan larangan pelibatan presiden/wakil presiden, menteri/wakil menteri, serta kepala badan/lembaga negara dalam kampanye pilkada masuk pasal yang diuji sesuai petitum para Pemohon. Sebab, menurut Suhartoyo, ketentuan ayat (1) ditujukan bagi pasangan calon untuk dilarang melibatkan pihak-pihak yang dapat bersinggungan langsung dengannya saat kampanye. Sedangkan, ketentuan ayat (2) disebutkan beberapa pihak yang dapat ikut kampanye dengan syarat.
“Diksinya melibatkan bukan larangan sebagai peserta (kampanye),” kata Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo mengatakan para Pemohon mempunyai waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Dengan demikian, perbaikan permohonan diterima Mahkamah paling lambat Senin, 12 Agustus 2024 pukul 13.00 WIB.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina