JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan Webinar Konstitusi bertajuk “Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat atas Wilayah Laut” bersama Fakultas Hukum Universitas Bengkulu pada Jumat (19/7/2024). Mahkamah menghadirkan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Pattimura Ambon, Jemmy Jefry Pietersz, sebagai narasumber dalam webinar ini.
Jemmy menjelaskan, keberadaan masyarakat hukum adat saat ini berlandaskan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal tersebut menyebutkan, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang diatur dalam undang-undang.
"Kalau kita membaca secara konstitusional, pengakuan ini menjadi dasar dari penghormatan atau penghormatan ini harus didasari pengakuan, dan pengakuan itu kan harus ada secara tertulis," ujar Jemmy.
Dia melanjutkan, kata “mengakui” dan “menghormati” tersebut bersyarat karena syarat eksistensi masyarakat hukum adat harus dipenuhi sebagaimana kalimat “sepanjang masih hidup dan sesuai dengan”. Ketentuan tersebut kemudian diatur lebih lanjut pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan-Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) yang pada pokoknya mengakui keberadaan hak ulayat sepanjang kenyataan masih ada, sesuai dengan perkembangan zaman dan prinsip-prinsip NKRI.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52 Tahun 2014 mendefinisikan masyarakat hukum adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun.
Kemudian, Pasal 1 angka 2 Permendagri 52/2014 mendefinisikan wilayah adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat.
Sementara, ada hak ulayat yang berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 diartikan sebagai kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Hak masyarakat hukum adat atas wilayah laut terdiri dari pesisir dan laut di antaranya tanah basah saat air surut (Meti), laut sebagai wilayah penangkapan ikan (Laut Biru), serta garis imajiner sesuai mata memandang ke laut. Terdapat hukum adat di laut seperti larangan mengelola, perlindungan sumber daya alam, serta adanya agenda dan seremoni adat.
Secara kelembagaan, masyarakat hukum adat dapat mengawasi dan memberikan sanksi serta menyelenggarakan upacara adat. Sanksi diberikan ke pihak yang melanggar.
Namun, menurut Jemmy, hak-hak masyarakat hukum adat ini masih terdapat permasalahan di mana berlakunya hukum negara dan hukum adat. Termasuk adanya hak menguasai negara yang kerap kali diartikan sebagai kepemilikan, padahal sifat memiliki adanya di hak ulayat.
"Makanya kita sering lihat ada papan bertuliskan tanah ini milik negara," kata Jemmy.
Padahal, hak menguasai negara disebutkan untuk mengatur, menentukan, dan menyelenggarakan, tidak ada sifat memiliki. Beberapa lingkungan atau wilayah yang diakui milik masyarakat hukum adat, tetapi masih dikuasai negara.
Selain itu, Jemmy menyebutkan, saat ini masyarakat hukum adat memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk menguji undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana Putusan Nomor 35/PUU-X/2012, Mahkamah menyatakan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Para Pemohon antara lain Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, serta Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu. Putusan tersebut berkaitan dengan Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
"Berarti masyarakat hukum adat ini memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan ke MK," ucap Jemmy.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.