JAKARTA, HUMAS MKRI - Pengurus Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Komisariat Fakultas Hukum Univertsitas Pasundan, Cabang Bandung Raya, melakukan legal visit ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin, (15/07/2024). Kunjungan diterima langsung oleh Asisten Ahli Hakim Konstitusi, Mohammad Mahrus Ali.
Mahrus Ali mengungkapkan mengapa MK selalu melakukan peradilan yang cepat, karena ada adagium justice delayed justice denied. Oleh karena itu, untuk segera memenuhi rasa keadilan di masyarakat, maka MK tidak menunda-nunda proses peradilan.
Kepada 56 orang pengurus Permahi itu Mahrus Ali menjelaskan kewenangan MK yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Kewenangan pertama MK yang diberikan oleh UUD 1945 adalah menguji Undang-Undang (UU) terhadap UUD 1945. Menurut Mahrus, kewenangan MK dalam pengujian UU itu sangat dinamis.
Dicontohkan olehnya, pada 2013 MK pernah memutus bahwa pemilihan umum kepala daerah bukan lagi rezim pemilu, dan memerintahkan kepada pembentuk UU untuk membentuk lembaga peradilan khusus yang berwenang untuk mengadili sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Namun demikian, pembentuk UU belum juga membentuk peradilan khusus itu dan malah menitipkan kewenangan itu kepada MK. Hal itu berlanjut pada pengujian UU berikutnya terhadap norma yang mengatur lembaga peradilan pilkada, akhirnya MK menyatakan berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pilkada.
Mahrus mengatakan, semakin banyak suatu UU yang diuji di MK hal itu dapat menjadi bahan kajian bagi mahasiswa mengapa UU itu banyak diuji ke MK. Mislanya UU Pemilihan Umum yang telah dilakukan pengujian hingga hampir 100 kali.
Dinamika Pengujian UU Cipta Kerja juga menarik untuk dikaji. MK dalam putusannya memerintahkan kepada pembentuk UU untuk melakukan sejumlah perbaikan UU Cipta Kerja. Namun, bukannya dilakukan pembahasan tapi pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) yang kemudian disahkan sebagai UU Ciptaker.
Mahrus mengingatkan Permahi harus mampu meneliti ada persoalan apa yang menyebabkan suatu UU sering diuji ke MK. Harus disadari, UU adalah produk politik, tidak murni produk hukum, yang dibahas dan dibentuk oleh lembaga politik sehingga menjadi menarik untuk dilakukan pengkajian.
Kewenangan berikutnya adalah sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya diatur dalam UUD 1945. “SKLN itu apa, SKLN adalah sengketa kewenangan lembaga negara, MK memberi jalan tengah di antara dua lembaga negara yang bersengketa,” kata Mahrus.
Selanjutnya, MK berwenang untuk membubarkan partai politik. Namun demikian, hingga saat ini belum ada pembubaran partai politik. Mahrus mengungkapkan hasil studi bandingnya mengapa suatu partai politik dibubarkan di suatu negara. Menurutnya, pembubaran itu harus didasarkan pada ideologi yang berlaku di suatu negara, dan bagaimana ideologi dari partai politik itu.
Berikutnya Mahrus Ali mengungkapkan adanya dinamika yang menarik dalam perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden kemarin. Hal ini bisa menjadi kajian karena selama ini tidak pernah ada dissenting opinion dalam putusan PHPU presiden dan wakil presiden. Demikian pula dengan banyaknya pengajuan amicus curiae yang kemarin terjadi pada sengketa hasil pemilihan hasil Presiden-Wakil Presiden.
Menurut Mahrus, fenomena amicus curiae kemarin memperkaya dinamika demokrasi karena bukan para pihak dalam sengketa hasil namun ada beberapa tuntutannya yang didengarkan oleh majelis Hakim Konstitusi. Selain itu, alat bukti dalam PHPU tidak dibatasi waktu sepanjang masih dalam rentang waktu namun demikian yang dibatasi adalah jumlah saksi dan/atau ahli yang diajukan oleh para pihak.
Kewenangan MK berikutnya adalah pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang dimulai dari proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat, kemudian diproses hukum di MK dan kemudian diproses kembali secara politik di Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Penulis: Ilham Wiryadi Muhammad.
Editor: Nur R.