JAKARTA, HUMAS MKRI – Frasa “peraturan perundang-undangan” dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) bukan frasa yag digunakan untuk menampung makna “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa”. Akan tetapi, lebih kepada dasar hukum yang dapat digunakan oleh hakim dalam memutus perkara sengketa pajak, baik di Pengadilan Pajak maupun Mahkamah Agung.
Demikian pertimbangan hukum Mahkamah yang dibacakan Wakil Ketua MK Saldi Isra terhadap permohonan yang diajukan oleh PT Adora Bakti Bangsa (Pemohon I), PT Central Java Makmur Jaya (Pemohon II), PT Gan Wan Solo (Pemohon III), dan PT Juma Berlian Exim (Pemohon IV) dalam Sidang Pengucapan Putusan pada Senin (15/7/2024).
“Apabila Mahkamah mempersempit makna frasa ‘peraturan perundang-undangan’ menjadi ‘Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota’ sebagaimana yang dimohonkan, sama saja dengan membatasi ruang lingkup hakim dalam menggunakan dasar hukum untuk memutus perkara sengketa perpajakan,” ucap Wakil Ketua MK Saldi terhadap pengujian Pasal 78 UU Pengadilan Pajak ini.
Lebih jelas atas dalil para Pemohon dalam Perkara Nomor 33/PUU-XXII/2024 ini, Mahkamah menyatakan frasa ‘peraturan perundang-undangan’ dalam ketentuan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak telah memberikan kepastian hukum di bidang perpajakan. Sehingga tidak bertentangan dnengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 23A UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah, sambung Saldi, dalil para Pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
“Mengadili, menolak permohonan para Pemohon unutk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan perkara dari Ruang Sidang Pleno MK dengan didampingi hakim konstitusi lainnya.
Baca juga: Menyoal Landasan Hukum Pengadilan Pajak dalam Gugatan Perpajakan
Untuk informasi, para Pemohon menyebutkan telah pernah melakukan upaya hukum dan Pengadilan Pajak dalam putusannya dirasa kurang adil. Sebagai ilustrasi, pada permohonan dituliskan beberapa perkara hukum yang dialami pihaknya. Misalnya Pemohon I sebagai wajib pajak badan yang pernah mengajukan penghapusan sanksi administrasi dan pembatalan terhadap surat tagihan pajak, namun ditolak oleh Pengadilan dengan pertimbangan hukum yang menyandarkan pada Peraturan Menteri Keuangan. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan penolakan tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak. Para hakimnya menilai PMK tersebut merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan.
Demikian juga dengan perkara hukum yang dialami oleh Pemohon IV yang pernah mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak, yang pada pokoknya menggugat surat tagihan pajak pertambahan nilai barang dan jasa. Dalam putusan dan pertimbangan hukum majelis hakim disebutkan menyandarkan penolakan gugatan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan fakta hukum yang dialami tersebut, para Pemohon telah mengalami ketidakpastian hukum. Menurutnya putusan pengadilan pajak tersebut dalam mengadili sengketa perpajakan harus berdasarkan undang-undang dan bukan pada peraturan perundang-undangan.
Untuk itu, para Pemohon mengajukan Petitum kepada Mahkamah agar menyatakan frasa ‘peraturan perundang-undangan’ dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai undang-undang. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan