JAKARTA, HUMAS MKRI - Dua Mahasiswa menguji Pasal 69 huruf i Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) terhadap Pasal 22E ayat (1), 28D ayat (1), dan 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sidang pemeriksaan pendahuluan permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 69/PPU-XXII/2024 ini digelar pada Jumat (12/7/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pasal 69 huruf i UU Pilkada menyatakan, “Dalam Kampanye dilarang: i. menggunakan tempat ibadah dan tempat Pendidikan.”
Sandy Yudha Pratama Hulu (Pemohon I) merasa dirugikan Pasal 69 huruf i UU Pilkada yang membatasi Pemohon untuk mendengar dan menguji secara kritis gagasan calon pemimpin daerah di tempat Pemohon menempuh Pendidikan tinggi saat ini. Sementara Stefanie Gloria (Pemohon II) yang juga merupakan mahasiswa merasa dirugikan dengan adanya pasal tersebut karena potensi tertutupnya informasi mengenai gagasan antara calon pemimpin dalam ruang dialog akademis yang berpengaruh terhadap pilihan Pemohon II sebagai pemilih pemula dalam Pilkada 2024.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Arsul sani, Sandy menyampaikan dalam Pemilu 2024 yang lalu telah banyak ditemukan pelaksanaan diskusi publik, forum akademis serta debat calon pasangan Presiden dan Wakil Presiden serta antar caleg di perguruan tinggi. “Bahkan penyelenggaraan kegiatan tersebut mendapat atensi besar dari pihak pengelola kampus serta animo dari para mahasiswa,” ujar Sandy.
Menurutnya, apabila ketentuan dalam Pasal 69 huruf i UU Pilkada tetap dijalankan dalam Pilkada Serentak Tahun 2024, maka para Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak dapat lagi turut serta dalam menguji ketajaman para calon kepala daerah mengenai visi dan misi serta gagasannya secara mendalam, kritis, dan akademis di dalam perguruan tinggi.
Dengan demikian, sambungnya, berdasarkan uraian-uraian yang telah disampaikan oleh Para Pemohon, ketentuan Pasal 69 huruf i UU Pilkada sejatinya bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Sebab, dengan keberlakuan Pasal 69 huruf i UU Pilkada, para civitas akademika termasuk para mahasiswa tidak dapat mengembangkan ilmu pengetahuannya dengan menguji para calon kepala daerah yang akan memimpin daerah asal dan tempat berkuliah para Pemohon saat ini.
Selain itu, Para Pemohon juga akan kehilangan satu cara yang paling baik dalam menentukan pilihan dalam pilkada mendatang. Sebab, dengan menguji secara langsung para calon kepala daerah dalam forum akademis, para Pemohon juga akan kehilangan satu cara yang paling baik dalam menentukan pilihan dalam Pemilihan Kepala Daerah mendatang.
Menurut para Pemohon, ketentuan dalam Pasal 69 huruf i UU Pilkada sejatinya bertentangan dengan asas kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, berdasarkan perkembangan hukum dan penafsiran Mahkamah mengenai tidak adanya perbedaan rezim pemilu dengan pilkada, maka sudah selayaknya ada koherensi dalam pengaturan izin menyelenggarakan kampanye di perguruan tinggi dalam rezim pengaturan pemilu untuk diberlakukan sama di rezim pengaturan pilkada.
“Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 69 huruf i UU Pilkada membawa ketidakpastian hukum dalam upaya koherensi pengaturan Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah,” jelasnya.
Untuk itu, Para Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 69 huruf i UU Pilkada sepanjang frasa “tempat pendidikan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “mengecualikan perguruan tinggi atau penyebutan serupa sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.”
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Para Pemohon, Hakim Konstitusi Arsul Sani menyarankan para Pemohon agar menambahkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. “Barangkali itu nanti bisa ditambahkan sedikit meskipun ini sudah cukup jelas,” kata Arsul.
Sementara Wakil Ketua MK Saldi Isra menyatakan permohonan Para Pemohon sudah baik. Akan tetapi Saldi menyarankan pada bagian kewenangan MK perlu mengutip UU MK.
Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan para pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun batas maksimal penyerahan perbaikan adalah pada Kamis 25 Juli 2024 pukul 09.00 WIB.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: N. Rosi
Humas: Tiara Agustina