JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan tiga perkara sekaligus, yaitu Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024, 71/PUU-XXII/2024, dan 72/PUU-XXII/2024 pada Jumat (12/7/2024). Para Pemohon mempersoalkan ketentuan persyaratan calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Pemohon Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 terdiri dari A. Fahrur Rozi yang merupakan Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Anthony Lee yang merupakan Mahasiswa Podomoro University. Secara khusus, para Pemohon menguji Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada terkait syarat batas usia paling rendah untuk menjadi calon kepala daerah karena dianggap tidak memberikan kepastian hukum.
“Para Pemohon dalam hal ini jelas dirugikan secara konstitusional dengan berlakunya ketentuan dalam pasal a quo karena menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak sesuai dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan tidak adanya pengakuan dan kepastian hukum yang adil dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945,” ujar kuasa hukum Pemohon, Moh Qusyairi dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra didampingi Hakim Konstitusi Arsul Sani dan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 MK, Jakarta Pusat.
Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada mengatur mengenai mekanisme pencalonan dan syarat batas usia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wali kota. Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada berbunyi:
“Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, serta 25 (dua puluh lima) untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.”
Terdapat perbedaan penafsiran pasal tersebut antara KPU dengan Mahkamah Agung (MA). KPU menerjemahkan persyaratan usia minimal tersebut terhitung sejak penetapan pasangan calon. Namun, MA menilai dan menafsirkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada tidak menentukan titik penghitungan pada tahapan mana syarat usia paling rendah 30 tahun untuk calon kepala daerah harus diberlakukan. Sehingga, dalam amar putusannya, MA menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Kepala daerah terkait persyaratan usia minimal kepala daerah dimaksud terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.
Dengan demikian, demi menjamin kepastian hukum, dalam petitumnya para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada dimaknai “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, serta 25 (dua puluh lima) untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terhitung sejak penetapan pasangan calon.”
Ingin Menjadi Wakil
Sementara itu, mantan Gubernur Kepulauan Riau Isdianto mengajukan uji materi Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada dalam Perkara Nomor 71/PUU-XXII/2024. Pemohon menginginkan ketentuan mengenai syarat menjadi wakil kepala daerah belum pernah menjabat sebagai kepala daerah di wilayah yang sama. Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada berbunyi:
“Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: o. belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama.”
Pemohon mengaku mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada karena ketidakpastian hukum dengan tidak ada batasan yang jelas ukuran waktu menjabat dari masa jabatan kepala daerah. Pemohon mengatakan, Mahkamah perlu menafsirkan ketentuan pasal ini menjadi “belum pernah menjabat satu periode masa jabatan sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama.”
Kemudian, Perkara Nomor 72/PUU-XXII/2024 dimohonkan warga Tangerang bernama Zulferinanda. Dia mempersalahkan Pasal 7 ayat (2) huruf c, huruf e, dan huruf n UU Pilkada yakni:
“Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat; e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota; n. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota;”
Menurut Pemohon, apabila tujuan menjadi pemimpin adalah murni untuk mengabdi kepada masyarakat melalui manifestasi seluruh visi, misi, dan program-program kerja yang telah dijanjikan, tentu satu periode saja sudah cukup. Dan sepertinya untuk di daerah, sangat jarang program kerja yang membutuhkan waktu lebih dari lima tahun untuk merealisasikannya sehingga menjadi alasan untuk melanjutkan kepemimpinannya ke periode ke dua. Bila yang bersangkutan berhasil membangun daerah yang dipimpinnya, silahkan naik kelas ke jabatan yang lebih tinggi, atau tularkan keberhasilan tersebut ke daerah-daerah lain dengan mengikuti pilkada di daerah lain.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menafsirkan Pasal 7 ayat (2) huruf c menjadi “berpendidikan paling rendah sarjana atau sederajat”. Kemudian Mahkamah juga menafsirkan Pasal 7 ayat (2) huruf e menjadi “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.” Lalu, Mahkamah pun diminta menghapus frasa “selama 2 (dua) kali masa jabatan” pada bunyi ayat (2) huruf n sehingga menjadi “belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota”.
Nasihat Hakim
Majelis Hakim Panel kompak menyebut para Pemohon bersama kuasa hukumnya bertugas memberikan argumentasi yang jelas dan kuat untuk mendukung dalil-dalil permohonan. Menurut hakim, Pemohon belum bisa membangun argumentasi yang kuat bahwa ketentuan-ketentuan yang diuji ini bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, apabila ini akan digunakan untuk kepentingan Pilkada 2024, maka para Pemohon harus menjelaskan urgensi Mahkamah mesti segera memutus perkara ini.
“Karena ini penetapan calon akan dimulai kapan lihat sekuens waktu tahapan Pilkada itu sehingga ini perlu diputus lebih cepat oleh Mahkamah atau kalau begitu tidak usah, diputus untuk 2030 saja atau 2029 begitu, kan bisa juga kan, nah itu harus dijelaskan urgensinya,” kata Saldi.
Di ujung persidangan, Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari untuk Pemohon memperbaiki permohonannya. Perbaikan permohonan selambatnya diterima Kepaniteraan MK pada Kamis, 25 Juli 2024 pukul 10.00 WIB. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina