JAKARTA, HUMAS MKRI – Empat Pemohon mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para Pemohon dalam permohonan Perkara Nomor 55/PUU-XXII/2024 mempersoalkan ketentuan yang mengatur hak Presiden dan Wakil Presiden melaksanakan kampanye pemilu sebagaimana diatur Pasal 281 ayat (1) dan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu.
Pasal 281 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, "Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, ..." Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, "Presiden dan/atau Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye."
Para Pemohon antara lain La Ode Nofal S. H (Pemohon I), Arimansa Eko Putra S. H (Pemohon II), La Ode Arukun S. Si (Pemohon III), serta Risard Nur Fiqral S. H (Pemohon IV). Menurut para Pemohon, kedua pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 yang menjamin hak konstitusional untuk memperoleh perlindungan hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketentuan dalam kedua pasal yang diuji tersebut sangat berpotensi terjadinya keberpihakan Presiden dan Wakil Presiden kepada peserta pemilu tertentu.
"Bahwa Ketentuan Pasal 281 ayat (1) dan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu tersebut yang memberikan dasar bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk terlibat dalam proses suksesi nasional berupa kampanye sehingga ketentuan a quo dapat menjadi jalan bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mendukung atau melakukan keberpihakan kepada pasangan Calon Presiden dan/atau Calon Wakil Presiden lain yang berlaga di dalam Pemilu Pilpres," ujar Nofal di hadapan Majelis Panel Hakim Konstitusi di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 MK pada Senin (8/7/2024).
Menurut para Pemohon, Presiden dan/atau Wakil Presiden haruslah bertindak untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan bagi semua dengan tidak memihak dan/atau bersikap netral. Jika ketentuan Pasal 281 ayat (1) dan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu masih tetap dipertahankan, maka akan dimanfaatkan dan dipergunakan oleh kekuasaan Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mendukung pasangan calon tertentu. Padahal tindakan demikian adalah sebuah ketidakadilan bagi para Pemohon karena tidak ada perlindungan hukum yang berkeadilan dan jaminan kesamaan di hadapan hukum.
Pemohon menjelaskan walaupun Presiden dan/atau Wakil Presiden diberikan kewenangan untuk dapat berkampanye, hal itu seharusnya dimaknai sebagai dia yang berstatus sebagai petahana (incumbent) dan berkampanye untuk dirinya sendiri. Sebab, konstitusi memberikan hak bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk dua kali masa periode.
Karenanya pemaknaan Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk berkampanye sebagaimana diatur Pasal 281 ayat (1) dan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu adalah untuk Presiden dan/atau Wakil Presiden yang masih menjabat satu periode dan memiliki hak konstitusi untuk maju kembali sebagai calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dan berkampanye untuk dirinya sendiri.
Namun, jika Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi menyandang status sebagai petahana, maka tidaklah etis jika dia hanya dengan dasar normatif semata melakukan kampanye yang ujungnya akan melakukan dukungan kepada pasangan calon tertentu di pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Sebab, kata para Pemohon, hal itu akan melanggar jaminan hak konstitusional.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 281 ayat (1) terkait frasa yang telah disebutkan di atas bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "hanya berlaku bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden yang berstatus sebagai petahana (incumbent) dan mencalonkan diri kembali berkampanye untuk dirinya sendiri."
Nasihat Hakim
Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam nasihatnya mengatakan para Pemohon dapat menambahkan studi perbandingan dengan negara lain terkait isu yang dipersoalkan. "Supaya bisa membuka cakrawala kalau di negara lain itu bagaimana," kata Arief.
Selain itu, Arief sempat menyebutkan pendapat para Pemohon segaris dengan pendapatnya terhadap hal yang dipersoalkan dalam perkara ini. Dia menyarankan para Pemohon membaca dan memahami dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam Putusan PHPU Presiden 2024 yang dibacakan April lalu.
"Jadi di Indonesia itu tidak hanya sekadar menganut rule of law tapi (juga) rule of etic. Karena di balik rule of law harus ada rule of etic. Artinya, secara etika atau moral enggak pantas dong kepala negara/Presiden ikut kampanye untuk mendukung salah satu calon," jelas Arief.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N. Rosi.