LONDON, HUMAS MKRI – Pada Rabu (26/6/2024) pagi, Delegasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal MK Heru Setiawan mengunjungi the Supreme Court of the United Kingdom (UKSC) dan Kementerian Kehakiman Inggris. Sebagaimana halnya dengan kunjungan ke Supreme Court of Scotland dan School of Law University of Leeds, kunjungan kali ini membawa misi studi banding khususnya mengenai unit kerja pendukung hakim, sekaligus penjajakan kerja sama antara dua lembaga.
Kunjungan Heru didampingi oleh Sekretaris I Bidang Politik Andaru Dhaniswara dan staf politik, Mada. Tema pertama dalam studi banding di The Supreme Court adalah mengenai peranan kepaniteraan sebagai unit pendukung hakim. Laura Angus, registrar (panitera) the Supreme Court yang menyambut delegasi MKRI menjelaskan UKSC berjumlah 12 hakim, walaupun demikian hakim pemeriksa dipastikan berjumlah ganjil. Hal demikian demi menjamin agar tidak terjadi kebuntuan dalam pengambilan keputusan secara voting.
Laura Angus menerangkan bahwa dalam pengambilan putusan, UKSC juga mengakomodir adanya perbedaan pendapat antarhakim dalam bentuk dissenting opinion. Adapun dalam konteks penyusunan draf putusan, majelis akan menunjuk salah satu hakim sebagai drafter, lalu draf yang sudah disepakati oleh majelis akan diserahkan kepada registrar untuk dilakukan pemeriksaan secara mendetail—tanpa mempengaruhi isi putusan—baru kemudian putusan akan diucapkan dan dipublikasikan.
Didirikan pada 2009, UKSC adalah peradilan banding tertinggi untuk perkara perdata bagi semua negara bagian Inggris, dan peradilan banding tertinggi untuk perkara kriminal bagi Inggris, Wales, serta Irlandia Utara. Adapun Skotlandia dalam hal perkara pidana mempunyai kesepakatan untuk menyelesaikannya sendiri di MA Skotlandia.
UKSC menerima ratusan permohonan per tahun. Namun banyak yang tidak berlanjut alias tidak lolos saringan registrar karena salah pengajuan. Artinya, dari keseluruhan pemohon yang mengajukan permohonan, masih banyak di antaranya yang belum memahami kewenangan The Supreme Court. Selain masalah kewenangan, permohonan tidak akan diperiksa oleh hakim apabila melewati tenggat pengajuan permohonan, yaitu 28 (dua puluh delapan) hari sejak adanya putusan banding.
Persidangan dan Teknologi Informasi di The Supreme Court
Laura Angus menyampaikan rata-rata dalam setahun UKSC menyelenggarakan seratus sidang pemeriksaan. Seperti telah diterangkan sebelumnya, perkara yang tidak memenuhi syarat tidak akan diperiksa dalam persidangan. Sementara perkara yang dinyatakan giving permission karena memenuhi syarat pengajuan dapat dipastikan diperiksa dalam persidangan.
Menjawab pertanyaan delegasi Mahkamah mengenai biaya perkara dan peran teknologi dalam persidangan, Laura Angus menerangkan proses peradilan banding ini dikenai biaya meskipun relatif kecil. Namun untuk kasus tertentu dapat diberi pengecualian atau bebas biaya.
Menyambung penjelasan Laura Angus, penyelia IT UKSC Ghazi, menjelaskan penggunaan IT dibatasi untuk dua hal. Pertama, IT dipergunakan untuk membangun case management system. Kedua, IT dimanfaatkan untuk menyelenggarakan persidangan hibrida atau kombinasi antara persidangan tatap muka dengan persidangan secara virtual atau online, Persidangan hibrida ini baru dikembangkan semenjak pandemi Covid-19 melanda UK.
Menurut Ghazi, UKSC mempunyai semacam Departemen IT yang pegawainya berjumlah 5 orang pegawai negeri. Untuk melayani kebutuhan pengadilan, departemen ini diperbolehkan menyewa tenaga IT dari pihak swasta. Dalam kaitannya dengan isu digitalisasi peradilan, Gazi menerangkan bahwa The Supreme Court menerapkan digitalisasi. Akan tetapi, tambahnya, hal demikian tidak berarti pengadilan “never use the paper”, antara lain terlihat dari koleksi literatur perpustakaan dua lantai UKSC yang tetap mempertahankan buku-buku kertas.
Terobosan digital yang dilakukan Departemen IT adalah membuat semua aplikasi di UKSC saling terhubung sehingga satu data cukup di-input satu kali lantas dapat dipergunakan oleh beberapa aplikasi dan/atau kebutuhan sekaligus. Hal demikian menurut Gazi sangat menghemat ruang penyimpanan data.
Commercial Court
Seusai pertemuan dengan jajaran UKSC, delegasi MKRI bergeser menuju Kementerian Kehakiman Inggris untuk beraudiensi dengan Commercial Courts ‘Pengadilan Dagang’. Delegasi MKRI disambut oleh Justice Robin Knowles, Hakim Commercial Court pada High Court Inggris dan Wales.
Di hadapan Robin Knowles dan beberapa staf Commercial Court yang mendampingi, Sekjen Heru Setiawan memperkenalkan anggota delegasi Mahkamah dan menjelaskan bahwa tujuan kunjungan ini adalah studi banding mengenai penggunaan teknologi di bidang peradilan, khususnya IT dan AI. Anggota delegasi Mahkamah adalah Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Tatang Garjito, Panitera Konstitusi Mardian Wibowo, Muhammad Halim, serta penerjemah bahasa Donny Yuniarto dan Rizki Kurnia Chesario.
Menyambut delegasi Mahkamah, Robin Knowles memaparkan bahwa pengadilan harus memahami teknologi. Untuk itu Commercial Court bersama pengadilan sejenis dari 50 negara membentuk organisasi bernama Standing International Forum of Commercial Court (SIFoCC), yang berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai penggunaan teknologi sekaligus menyelesaikan kasus-kasus atau perkara-perkara hukum terkait teknologi. Misalnya mencari solusi hukum atas kesalahan keputusan bisnis yang ternyata keputusan tersebut dibuat oleh AI dan bukan manusia.
Menurutnya, pengadilan dituntut untuk selalu menghadirkan hakim yang baik, lawyer yang baik, serta pegawai peradilan yang baik. Hal demikian adalah tantangan yang berat. Untuk itu AI diterapkan agar membantu. Selain itu penerapan teknologi ditujukan memudahkan akses pada pengadilan terutama bagi masyarakat yang terbatas kemampuannya secara finansial. Antara lain diterapkan untuk membangun case management system.
Heru Setiawan menanyakan pendapat Knowles mengenai moralitas teknologi AI apabila diposisikan sebagai pemutus nasib manusia, sementara analisis AI bersifat mandiri dan tidak dapat diintervensi manusia. Menjawab hal demikian Knowles menegaskan AI atau IT tetap harus dikendalikan oleh manusia. AI tidak pernah dilepaskan untuk menangani sendiri perkara-perkara pada pengadilan. AI diposisikan hanya sebagai alat bantu bagi hakim untuk menyelesaikan perkara. Peranan manusia sebagai Hakim yang memutus perkara mutlak diperlukan demi menjaga kepercayaan para pencari keadilan.
Di Commercial Court, teknologi AI dipergunakan untuk melakukan review dokumen antara lain melakukan pencarian atau identifikasi isi dokumen dan keterangan yang tertulis di dalamnya. AI juga dipergunakan oleh hakim untuk melakukan riset-riset tertentu yang tidak mampu ditangani staf pengadilan karena keterbatasan waktu.
Robin Knowles memungkasi paparannya dengan simpulan bahwa hukum atau pengadilan dapat membantu atau mendukung pengembangan AI, dan di sisi lain AI dapat membantu penegakan hukum. Dengan catatan penggunaan AI harus sepenuhnya di bawah kendali manusia. (*)
Penulis: RKC/DY/MH/MW
Editor: Lulu Anjarsari P.