EDINBURGH, HUMAS MKRI - Delegasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) mengunjungi Mahkamah Agung Skotlandia yang berlokasi di Gedung Parliament House di Parliament Square, Edinburgh, Skotlandia pada Senin (24/6/2024). Kunjungan bertujuan untuk bertukar pikiran dan pengalaman mengenai digitalisasi peradilan dan keterbukaan peradilan. Turut dibahas pula isu mengenai peradilan era siber serta langkah-langkah keamanan peradilan siber.
Delegasi MKRI terdiri dari Sekretaris Jenderal Heru Setiawan sebagai ketua delegasi, didampingi Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Tatang Garjito, Panitera Konstitusi Ahli Madya Mardian Wibowo, Muhammad Halim, serta Donny Yuniarto dan Rizki Kurnia Chaesario sebagai penerjemah bahasa. Sementara Mahkamah Agung Skotlandia diwakili oleh Hakim Agung Paul Benedict Cullen The Honorable Lord Pentland), Hakim Agung Lorna Allison Drummond (The Honorable Lady Drummond), Hakim Agung Leeona June Dorrian (The Honorable Lady Dorrian), Kepala Divisi Keamanan Siber Lora Crabstree, serta beberapa staf pengadilan.
Lord Pentland membuka pertemuan dengan penjelasan bahwa sistem hukum Skotlandia, termasuk peradilannya, berbeda dengan sistem hukum yang diterapkan di England, Wales, dan Irlandia Utara. Keempat wilayah tersebut adalah semacam “negara bagian” yang bergabung dengan nama United Kingdom. Masing-masing negara bagian mempunyai sistem hukum dan sistem peradilan berbeda, meskipun pada beberapa hal tetap terdapat kemiripan dan kesamaan. Perbedaan sistem hukum demikian telah diterima sebagai bagian dari konstitusi Inggris karena sejak awal parlemen Skotlandia memutuskan bergabung dengan Parlemen Inggris dan Wales pada 1707, telah disepakati bahwa masalah hukum yang timbul di Skotlandia akan diselesaikan di Skotlandia.
Menurut Lord Pentland, hukum Skotlandia saat ini terbentuk dari campuran antara hukum Romawi (Roman Law), yang masuk ke Skotlandia pada era perang Prancis melawan Inggris, dengan hukum adat (common law) yang berasal dari Inggris dan Wales. Pendidikan para lawyer Skotlandia juga turut mempengaruhi pembentukan sistem hukum negara tersebut, di mana sebagian besar pengacara pendahulu belajar hukum di Prancis dan pulang membawa aliran Roman law, sementara sebagian lainnya belajar hukum di Belanda lalu pulang membawa perpaduan pengaruh Roman Law dan continental thinking.
Seiring dengan perbedaan aliran hukum yang semakin menipis, pengisian hakim Supreme Court of the United Kingdom (MA Inggris) pun mulai berubah. Dulu Mahkamah Agung Inggris hanya diisi oleh hakim-hakim dari Inggris, namun sekarang terdapat beberapa hakim dari Skotlandia yang bergabung menjadi hakim Mahkamah Agung Inggris. Bahkan Inggris dan Skotlandia saling bertukar rujukan (jurisprudensi) dalam menyelesaikan kasus hukum masing-masing.
Perkembangan hukum Skotlandia mencapai puncaknya pada 1998 ketika disepakati kembali bahwa Parlemen Skotlandia memisahkan diri dari Parlemen Inggris. Artinya Parlemen Skotlandia mempunyai kewenangan sepenuhnya untuk membuat hukum sendiri yang bisa berbeda dengan hukum Inggris.
Peradilan Terbuka
Lord Pentland menyampaikan pula mengenai konsep open justice yang dianut Mahkamah Agung Skotlandia. Konsep ini diterapkan untuk menjamin agar proses dan putusan pengadilan dapat diikuti atau diakses oleh semua pihak. Para pihak berperkara tidak boleh meminta pengadilan untuk menyidangkan perkaranya secara tertutup. Apabila tetap menginginkan sidang secara tertutup, pengadilan akan menyarankan agar para pihak menyelesaikan masalah mereka melalui mekanisme arbitrasi yang memungkinkan pemeriksaan secara tertutup.
Menanggapi penjelasan Lord Pentland, Heru Setiawan menjelaskan bahwa secara konseptual open justice demikian senada dengan asas peradilan terbuka untuk umum yang dianut dalam hukum acara MKRI. Bahkan selain melakukan sidang secara terbuka, MKRI juga menyiarkan secara langsung (live streaming) sidang pemeriksaan dan sidang pengucapan putusan melalui media youtube.
Di akhir diskusi mengenai open justice, Lord Pentland menyampaikan semacam refleksi terkait mekanisme tersebut dalam hubungannya dengan perkembangan IT dan AI yang semakin meluas. Menurutnya pihak berperkara yang relatif rentan (vulnerable) akan sulit dilindungi kerahasiaan identitasnya. Jejaring internet memunculkan fenomena jigsaw identification, di mana melalui internet semua orang (netizen) dapat mencari, lalu menemukan sepotong demi sepotong, dan menyimpulkan identitas serta peristiwa yang sedang diadili pengadilan.
Penggunaan IT/AI dan Isu Keamanan Siber
Lady Drummond menjelaskan bahwa penggunaan IT dan/atau AI di Mahkamah Agung Skotlandia dibatasi hanya untuk tiga hal, yaitu transkripsi (transcribing), merangkum (summarizing), dan menterjemah bahawa (translating). Itupun tidak sepenuhnya diserahkan kepada teknologi, melainkan tetap ada korektor (checker) yang bertugas memastikan akurasi hasil kerja IT in casu AI.
Menjawab pertanyaan yang disampaikan delegasi MKRI mengenai penggunaan teknologi IT dalam asistensi pembuatan putusan, Lady Drummond menegaskan bahwa “Judges not using AI”. Dalam penyusunan putusan, hakim menganalisa dan membuat putusan sendiri tanpa bantuan AI. Mahkamah menempatkan AI sekadar sebagai alat pencari informasi, sementara hakim tetap memutus perkara menggunakan hati nurani dan pengetahuan masing-masing.
Bahkan Lady Drummond menambahkan informasi, Mahkamah pernah mengadili suatu permohonan dan mendapati salah satu rujukan putusan perkara dalam permohonan tersebut adalah kreasi AI yang tidak nyata (fake decision). Lady Drummond mengatakan bahwa AI bisa berhalusinasi. Hal demikian membuat Supreme Court semakin berhati-hati menghadapi penerapan AI di bidang peradilan.
Dalam sesi diskusi terakhir bersama Kepala Divisi Keamanan Siber Lora Crabtree, kembali ditegaskan bahwa penggunaan AI di Mahkamah Agung Skotlandia tidak sampai menyentuh tahapan pembuatan putusan. Bahkan analisis terhadap alat bukti pun tidak pernah menggunakan AI.
Crabtree menunjukkan aplikasi case management system, di mana dalam penanganan dokumen-dokumen persidangan AI dipergunakan hanya untuk membaca dan merekam informasi dalam formulir yang diajukan para pihak, antara lain nama dan alamat, kemudian disimpan dalam database pengadilan. Dikatakan oleh Crabtree bahwa penggunaan AI selama ini dapat menekan biaya dan mengefisienkan waktu. Namun menurutnya di bidang peradilan AI tetap belum dapat menggantikan kualitas pekerjaan manusia. (*)
Penulis: MW/RKC/DY/MH
Editor: Lulu Anjarsari P.