HELSINKI, HUMAS MKRI – Salah satu lembaga negara di Finlandia yang memiliki kewenangan yang luar biasa dan diatur dalam konstitusi Finlandia adalah Supreme Administrative Court of Finland (SACF). SACF berdiri pada 1918 dan merupakan pengadilan tertinggi dan terakhir yang menangani berbagai perkara administrasi. Mengetahui pentingnya kewenangan dari SACF, Delegasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah melakukan anjangkarya ke SACF pada Senin (24/6/2024) di Helsinki, Finlandia.
Dalam Konstitusi Finlandia mensyaratkan bahwa setiap penggunaan kekuasaan publik harus didasarkan pada hukum dan siapa pun yang tidak puas dengan suatu keputusan administrasi dapat mengajukan gugatan mengenai keabsahan keputusan tersebut ke pengadilan administratif atau pengadilan tata usaha negara—termasuk SACF. Selain itu, SACF juga memiliki kewenangan untuk mengawasi penerapan undang-undang dan juga dapat menyampaikan pendapat serta menyampaikan usulan terkait dengan sebuah rancangan peraturan perundang-undangan yang dibahas oleh lembaga legislatif dan juga eksekutif.
Kompetensi SACF sangat luas dan menangani berbagai perkara seperti perencanaan penggunaan lahan dan konstruksi, lingkungan hidup, perpajakan, kegiatan ekonomi, kesejahteraan sosial dan layanan kesehatan, hak kekayaan intelektual, pemerintahan lokal dan hal-hal yang berkaitan dengan orang asing. Sistem pengadilan administratif di Finlandia menggunakan sistem dua tingkat yang juga banyak ditemukan di negara anggota Uni Eropa dan hal yang luar biasa adalah bahwa semua keputusan Pemerintah yang menjalankan kekuasaan eksekutif di Finlandia, dapat diajukan banding ke SACF.
Dalam kunjungan kerja tersebut, Guntur didampingi oleh Duta Besar LBPP RI untuk Finlandia dan Estonia Ratu Silvy Gayatri, Konselor Bidang Politik KBRI Dewi Kartonegoro, Panitera Konstitusi Hani Adhani, Asisten Ahli Hakim Konstitusi Gilang Suryo, Penerjemah Kantor Urusan Asing MKRI Sherly Octaviana, dan lainnya. Guntur pun mendiskusikan tentang tindak lanjut dari Bali Communique yang merupakan hasil kesepakatan kongres WCCJ pada 2022 yang saat itu juga dihadiri oleh Presiden SAC Finlandia, yakni Kari Kuusienemi.
Dalam paparannya, Guntur menyampaikan bahwa secara filosofis kewenangan SAC Finlandia ternyata juga mencakup aspek perlindungan HAM, penegakan Hukum dan demokrasi serta supremasi konstitusi. Hal tersebut tentunya dapat menjadi tambahan informasi yang bermanfaat bagi MKRI yang juga dalam menjalankan kewenangannya mendasarkan pada konstitusi yang juga mencakup kepada nilai-nilai yang terkait dengan perlindungan HAM, penegakan hukum dan demokrasi serta supremasi konstitusi. Selain itu, sebagai tindak lanjut dari Bali Communique yang salah satunya hasilnya adalah melakukan inisiasi terkait dengan Constitutional Supremacy Index khususnya untuk MKRI yang pada tahun 2024 lebih mendekatkan pada salah satu indikator yaitu penegakkan demokrasi yang diwujudkan dalam penanganan sengketa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, anggota legislatif dan juga kepala daerah. Hal lain yang juga disampaikan Guntur, yakni terkait dengan manajemen penanganan perkara di SACF yang dengan komposisi jumlah hakim dan staf pendukung yang terbatas, namun dalam setahun berhasil menangani sekitar 6.000 perkara. Oleh karena itu, MKRI juga ingin mengetahu tentang pola dan sistem kerja SACF khususnya dikaitkan dengan optimalisasi penggunaan ICT oleh karena di MKRI juga sedang concern untuk mengoptimalisasi penggunaan teknologi digital dalam proses beracara.
Menanggapi kunjungan tersebut, Presiden SACF Kari Kuusiniemi yang juga didampingi oleh Hakim Eija Siitari dan Petri Helander serta Jenny Rebold sebagai Sekretaris Jenderal SACF menyampaikan paparan terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh SACF. Menurut Kari, salah satu misi dari SACF adalah untuk memberikan perlindungan dan memandu penerapan hukum berdasarkan preseden atau yurisprudensi pengadilan. Selain itu, SACF juga dapat memberikan pendapat dan mengajukan inisiatif legislasi serta menerapkan Undang-Undang Prosedur Peradilan Administratif yang memuat ketentuan yang menempatkan otoritas atau kewenangan peradilan untuk memastikan pemeriksaan yang tepat atas suatu perkara. Oleh karena itu, pihak-pihak yang terlibat dalam persidangan biasanya dapat melanjutkan perkaranya tanpa bantuan hukum profesional, sehingga memudahkan pengajuan banding dan akses terhadap upaya hukum.
Sejauh ini, menurut Kari, SACF memproses sekitar 6.000 perkara setiap tahunnya dari semua sektor administrasi khususnya terkait dengan perlindungan internasional, imigrasi, perpajakan, kesejahteraan sosial, lingkungan hidup dan penggunaan lahan. Perkara tersebut umumnya ditangani secara tertulis yang keputusannya bersifat final, dimana Hakim yang menangani terbagi menjadi dua kamar dengan dibantu panitera dan staf ahli (referendaries) serta pegawai yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal.
Hal lain yang juga di diskusikan oleh SCAF dan MKRI adalah terkait dengan prosedur penanganan perkara atau hukum acara. Setiap perkara yang diajukan ke SACF diputuskan oleh kamar yang terdiri dari lima hakim. Namun, dalam perkara tertentu, majelis juga dapat dibantu oleh dua orang staf ahli yang mempunyai kompetensi di bidangnya. Terhadap perkara yang melibatkan kepentingan publik dan menjadi pusat perhatian masyarakat maka perkara tersebut dapat diputuskan dengan komposisi seluruh hakim.
Dalam kesempatan pertemuan tersebut, Guntur dan Kari juga mendiskusikan hal terkait dengan perkembangan ICT dalam penangan perkara (E-Court) yang dilakukan secara transparan dan akuntabel sebagai bagian dari upaya untuk menjaga independensi dan integritas masing-masing lembaga. (*)
Penulis: Hani Adhani, Sherly Octaviana S.
Editor: Lulu Anjarsari P.