JAKARTA, HUMAS MKRI – Pencalonan Anggota Legislatif yang merupakan mantan narapidana harus dinyatakan batal demi hukum. Keterangan ini disampaikan oleh Abhan yang dihadirkan oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Ruang Sidang Panel 3, Gedung 1 Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (30/5/2024). Sidang tersebut dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Perkara Nomor 226-01-17-24/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 ini diajukan oleh PPP. Perkara ini menyoal pengisian anggota DPRD Kota Tarakan di Daerah Pemilihan (Dapil) 1 Kecamatan Tarakan Tengah, Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara.
Abhan, ahli yang diajukan oleh Pemohon, menyebut bahwa jika seorang calon yang awalnya memenuhi syarat untuk mengikuti kontestasi Pemilu kemudian tidak lagi memenuhi syarat, maka terhadapnya dapat dilakukan penggantian calon terpilih sebagaimana diatur dalam Pasal 426 UU Pemilu. “Jika awalnya memenuhi syarat kemudian tidak memenuhi syarat, berdasarkan Pasal 426, dapat dilakukan penggantian calon terpilih,” ungkapnya.
Namun, menurut Abhan, jika sejak awal sudah tidak memenuhi syarat, maka pencalonan tersebut dianggap tidak pernah ada dan harus dinyatakan batal demi hukum, karena keputusan pencalonan itu tidak memenuhi ketentuan undang-undang. Dengan tidak dianggap ada, maka suara calon yang dinyatakan tidak sah, tidak dapat dikategorikan suara sah untuk dirinya maupun partai politiknya. “Suara calon yang tidak sah seharusnya tidak dapat dinyatakan sah untuk dirinya maupun untuk partai politiknya,” terangnya.
Kemudian, Pemohon juga menghadirkan Saksi, yakni Kaltim Rahman yang merupakan saksi mandat dari PPP di Kecamatan Tarakan Tengah. Ia menyebut bahwa Erick Hendrawan Septian Putra tidak jujur mengenai statusnya yang merupakan mantan narapidana yang belum memenuhi syarat untuk menjadi calon anggota DPRD. “Tidak jujur kepada masyarakat terkait pernah menjalani pidana,” ujarnya.
Keselarasan Petitum dan Petita
Dalam sidang tersebut, Partai Golkar sebagai Pihak Terkait menghadirkan ahli bernama Yahya Ahmad Zein. Menurut Yahya, hukum Pemilu Indonesia dengan tegas memisahkan antara tahapan yang satu dengan tahapan yang lain. Proses pelanggaran administrasi, menurutnya, diselesaikan oleh Bawaslu. Sementara itu, perselisihan hasil pemilihan umum diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Yahya menambahkan bahwa karena adanya pemisahan tersebut, harus ada keselarasan antara petitum dengan posita. Jika dalam posita mempermasalahkan proses atau pelanggaran administrasi, maka dalam petitum juga harus konsisten mengenai proses atau pelanggaran administrasi. Demikian pula, jika dalam posita mempermasalahkan hasil Pemilu, maka dalam petitum juga harus sama mempermasalahkan mengenai hasil Pemilu. Apabila ada petitum yang jauh dari posita, maka tentu hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Substantiering theory yang artinya dalam permohonan selain harus menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar permohonan, juga harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum sehingga menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut. “Harus ada keselarasan antara petitum dengan posita agar tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam substantiering theory,” ungkapnya.
Menurut Yahya, putusan Bawaslu yang menyatakan bahwa terlapor, Erick Hendrawan Septian Putra melakukan pelanggaran administratif Pemilu dan menyatakan terlapor atas nama Erick Hendrawan Septian Putra tidak memenuhi syarat sebagai daftar calon tetap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tarakan Daerah Pemilihan Tarakan 1 pada Pemilu 2024 adalah putusan yang tidak dapat dijalankan atau putusan non-executable. “Putusan Bawaslu untuk Erick Hendrawan Septian Putra adalah putusan yang tidak dapat dijalankan atau putusan non-executable,” terangnya.
Sementara itu, KPU melalui saksinya Nasrudin menyebut bahwa proses pencalonan saudara Erick Hendrawan Septian Putra telah sesuai mekanisme di peraturan perundang-undangan. Nasrudin menyebut bahwa KPU mendasari pencalonan Erick Hendrawan Septian Putra karena adanya surat keterangan dari Pengadilan Negeri Kota Tarakan bahwa Erick Hendrawan Septian Putra tidak pernah menjalani pidana. "Kami mendasari dari surat keterangan dari Pengadilan Negeri Kota Tarakan," ujarnya.
Baca juga:
PPP Dalilkan Caleg Golkar di Dapil Tarakan Tengah 1 Tidak Penuhi Syarat Sah
KPU: Tak Ada Tanggapan Masyarakat Soal Status Erick Hendrawan Ketika Pengumuman DCS
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan terjadinya pelanggaran administratif Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilakukan oleh Calon Anggota Legislatif atas nama Erick Hendrawan Septian Putra dari Partai Golongan Karya (Golkar). Hal tersebut berdasarkan Putusan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Tarakan Nomor 002/LP/ADM.PL/BWSL/KOTA/24.01/III/2024 tanggal 19 Maret 2024 tentang Dugaan Pelanggaran Administratif Pemilu dengan amar menyatakan terlapor atas nama Erick Hendrawan Septian Putra secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administratif Pemilu dan menyatakan terlapor atas nama Erick Hendrawan Septian Putra tidak memenuhi syarat sebagai daftar calon tetap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tarakan Daerah Pemilihan Tarakan 1 pada Pemilu 2024. Meskipun telah ada putusan Bawaslu, menurut Pemohon, Termohon (KPU) tidak memperhatikan dan melaksanakan putusan Bawaslu dengan melakukan penetapan hasil Pemilu Anggota DPRD Kota Tarakan Tahun 2024 melalui Surat Keputusan KPU Kota Tarakan Nomor 87 Tahun 2024.
Atas dasar dalil yang disampaikan oleh Pemohon, dalam permohonannya, Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonannya dengan membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 360 Tahun 2024. Pemohon juga meminta agar Termohon diperintahkan untuk menetapkan bahwa calon anggota legislatif Daerah Pemilihan I Kecamatan Tarakan Tengah Kota Tarakan atas nama Erick Hendrawan Septian Putra tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota legislatif. Oleh karena itu, Termohon harus menetapkan suara yang didapatkan oleh Erick Hendrawan Septian Putra sebanyak 2.335 suara sebagai suara tidak sah. Selain itu, Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk memerintahkan Termohon agar menetapkan Pemohon sebagai Calon Terpilih Anggota Legislatif Daerah Pemilihan I Kecamatan Tarakan Tengah Kota Tarakan dengan jumlah suara sebesar 2.289 suara.(*)
Penulis: Adam Ilyas
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina