JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Anggota DPRD Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Selatan kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (29/5/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara Nomor 191-01-03-22/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 ini diajukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sidang perkara ini digelar oleh Panel Hakim I yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.
Dalam sidang beragendakan keterangan Saksi dan Ahli tersebut, PDIP menghadirkan Dian Permata yang merupakan peneliti pada Founding Father House. Ia menyebut permasalahan penghitungan suara dalam pemilu merupakan aktivitas tertua di antara permasalahan-permasalahan paling tua lainnya dalam hukum tata negara.
“Pada tahapan pemungutan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dalam pemilu potensi hilang atau tercurinya suara pemilih baik secara sengaja atau tidak sengaja sangat mungkin terjadi. Salah satu contohnya karena tindakan maladministrasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu,” ujar Dian.
Pada kesempatan yang sama, Panel Hakim I juga mendengarkan keterangan saksi Pemohon yakni Fitzgerald Lintin yang merupakan saksi PDIP. Ia menyebut, saksi mengajukan keberatan karena adanya penggelembungan atau peningkatan suara khususnya untuk PAN yang berdampak PDIP kehilangan kursi.
“Pada saat itu, kami langsung menyampaikan kepada KPU dengan memberi data-data temuan kenaikan suara untuk PAN,” ujarnya.
Ia menegaskan, KPU merespons keberatan saksi dan menjelaskan bukti-bukti yang diajukan lebih dari 740 TPS sehingga tidak cukup waktu untuk dilakukan koreksi atau penyelarasan terhadap apa yang disampaikan dengan data-data sejumlah 740 TPS. “Keberatan yang kami sampaikan saat itu diarahkan KPU untuk dilakukan penyelarasan proses koreksi di Bawaslu,”jelas Fitz.
Menurut Fitz, dari hasil penyelarasan atau penyandingan sebagaimana 740 TPS yang didalilkan itu membuktikan bahwa terjadi peningkatan suara dan dari hasil putusan Bawaslu tidak ada sanggahan KPU maupun Pihak Terkait yakni PAN.
Sementara PAN sebagai Pihak Terkait menghadirkan Ahli, di antaranya Agus Riewanto yang merupakan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Ia menerangkan ketentuan pasal 473 ayat (1) dan (2) UU Pemilu bahwa yang dimaksud Perselisihan hasil Pemilu (PHPU) DPR, DPD dan DPRD meliputi perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Oleh karena yang dapat diajukan dalam PHPU hanyalah terkait dengan penetapan peroleh suara nasional dan dan yang dapat mempengaruhi perolehan suara peserta Pemilu.
“Terhadap laporan adanya dugaan pelanggaran administrasi rekapitulasi suara pascapenetapan hasil Pemilu nasional oleh KPU RI, maka berdasarkan hukum Pemilu dianggap tidak pernah ada karena setiap laporan dugaan pelanggaran administrasi Pemilu seharusnya dihentikan oleh Bawaslu melalui kajian awal untuk kemudian disampaikan laporan ke MK dalam persidangan MK dalam bentuk keterangan tertulis,” terangnya.
Agus menyatakan tindakan Bawaslu untuk menghentikan laporan dugaan pelanggaran administrasi Pemilu pascapenetapan hasil Pemilu Nasional oleh KPU RI itu ditujukan agar ada kepastian hukum dalam hal limitasi (pembatasan) waktu laporan adanya dugaan pelanggaran administrasi ke Bawaslu. Menurutnya, sanksi yang dapat diberikan oleh Bawaslu apabila terlapor PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU RI terbukti melakukan pelanggaran administrasi terhadap penghitungan suara dan rekapitulasi penghitungan perolehan suara.
Namun, ketentuan ini akan menjadi masalah hukum jika dilakukan pascapenetapan perolehan suara secara nasional di KPU RI. Dalam Pasal 474 UU Pemilu disebutkan jika terjadi perselisihan penetapan hasil perolehan suara hasil pemilu, lembaga yang berwenang mengadili adalah MK. Hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum bahkan dualisme hasil perolehan suara antara hasil rekapitulasi KPU RI dan hasil putusan Bawaslu dan sengketa hasil di MK yang masih berjalan.
Baca juga:
PDIP Perebutkan Kursi Kelima di Dapil Kalimantan Selatan I
Bawaslu: KPU Terbukti Melanggar Prosedur Rekapitulasi Hasil untuk Provinsi Kalsel
Sebelumnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendalilkan seharusnya perolehan kursi kelima untuk keanggotaan DPR RI Dapil Kalimantan Selatan II adalah miliknya. Namun, KPU selaku Termohon tidak menetapkan Pemohon sebagai Calon Terpilih di Dapil Kalimantan Selatan II. Pemohon menyampaikan kegagalan PDIP karena adanya penambahan perolehan suara PAN di sejumlah TPS se-Kabupaten Kotabaru sebanyak 807 suara. Menurut Formulir C Hasil dari Pemohon, perolehan suara PAN sebesar 487 suara, sedangkan yang ditetapkan Termohon adalah 1.294 suara. Sehingga didapatkan selisih sebesar 807 suara.
Menurut Pemohon, telah terjadi penambahan perolehan suara PAN di sejumlah TPS Tanah Bumbu sebanyak 5.488 suara. Menurut Formulir C Hasil Pemohon suara PAN sebesar 7.048 suara, sedangkan penetapan oleh Termohon 12.536 suara sehingga penambahan selisihnya didapatkan 5.488 suara di Tanah Bumbu yang tersebar di 6 kecamatan, 29 desa, hingga 203 TPS.
Selain itu, Pemohon juga menerangkan terjadi penambahan perolehan suara PAN di sejumlah TPS di Banjarmasin sebanyak 9.395 suara. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 dan menetapkan hasil perolehan suara yang benar menurut Pemohon untuk PDIP berdasarkan C.Hasil Salinan, yakni sebesar 89.875 suara. Sedangkan D.Hasil 89.875 suara, sementara PAN sebesar 262.315 suara. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan