JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Anggota DPR RI,DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/kota Provinsi Riau Dapil Riau II Tahun 2024 kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (28/5/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara 208-02-04-04/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 ini diajukan oleh Mohamad Idris Laena yang merupakan Calon Anggota DPR dari Partai Politik Golongan Karya (Golkar).
Dalam persidangan, Bayu Dwi Anggono merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jember selaku Ahli yang dihadirkan oleh Pemohon menyatakan adanya klasifikasi secara teknis dalam Pasal 53 ayat (5) PKPU Pemungutan dan Perhitungan Suara Pemilu, yang dinyatakan sah untuk nama calon anggota DPR, merupakan bentuk penghargaan terhadap prinsip kedaulatan rakyat, dimana peraturan perundang-undangan memberikan ruang akomodasi bagi pemilih yang tidak hanya memilih partai politik tapi juga menentukan calon anggota DPR yang dikehendaki.
“Berdasarkan pada kewenangan itu, maka KPPS tidak berwenang mengambil tindakan lain yang berbeda dengan peraturan perundang-undangan. Apalagi, secara kedudukan KPPS hanya sebagai kelompok yang dibentuk PPS untuk melaksanakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara (vide Pasal 1 angka 14 UU Pemilu). Sehingga tindakan KPPS adalah tindakan teknis dalam aktivitas pemungutan suara di TPS bukan tindakan mengambil Keputusan yang substansial apalagi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,” terang Bayu.
Menurut Bayu, perkara kerugian konstitusional dari Pemohon dalam perkara ini yang merupakan calon anggota DPR RI Daerah Pemilihan Riau 2 dari Partai Golkar, akibat tindakan sejumlah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang menentukan perolehan suara yang dicoblos pada lambang partai atau kolom partai dan dicoblos pada salah satu nama calon anggota legislatif (Caleg), dimasukkan ke dalam suara partai politik pada saat perhitungan suara di TPS dan bukan suara Calon Anggota DPR. Akibat tindakan ini diduga berdampak pada hilangnya suara Pemohon sebanyak 4.505 suara sebagai akumulasi dari TPS yang tersebar di 5 (lima) Kabupaten, yakni kabupaten Kampar, kabupaten Indragiri Hulu, kabupaten Indragiri Hilir, kabupaten Pelalawan dan kabupaten Kuantan Singingi
“Tindakan kesepakatan KPPS tersebut merupakan tindakan inkonstitusional dan secara terang-benderang telah membelokkan daulat rakyat yang menghendaki calon anggota DPR. Peralihan suara Calon Anggota DPR yang dialihkan ke Parpol terhadap surat suara yang dicolos pada bagian gambar partai dan kolom calon, karena kesepakatan KPPS. Hal ini merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan secara hukum,” tegasnya.
Penyelesaian di Bawaslu
Sementara KPU sebagai Termohon menghadirkan Ahli, di antaranya Agus Riewanto yang merupakan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Ia menerangkan ketika terjadi pelanggaran administrasi Pemilu pada saat pelaksanaan rekapitulasi hasil Pemilu baik berupa temuan Bawaslu ataupun laporan, maka prosedur penyelesaiannya adalah melalui pemeriksaan secara cepat di tempat kejadian dan pada hari yang sama saat terjadinya pelanggaran Pemilu oleh Bawaslu. Karena ini merupakan perkara pelanggaran administrasi Pemilu, maka penyelesaiannya di Bawaslu sesuai tingkatan kejadian perkara. Sebagaimana diatur berdasarkan ketentuan Pasal 40, 41 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan Pasal 41 ayat (3) serta Pasal 42 Perbawaslu Nomor 8 Tahun 2022.
Kemudian, Agus juga menerangkan, Saksi Parpol Peserta Pemilu dapat menyampaikan laporan dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan, dan/atau kesalahan dalam, pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Peserta Pemilu dan mengajukan keberatan terhadap prosedur dan/atau selisih rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara apabila terdapat hal yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi dan KPU RI.
Sementara Ahli Pihak Terkait yakni Herdensi Adnin menyebut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 memberikan ruang penyelesaian secara tepat dan berkeadilan terhadap semua pelanggaran, sengketa dan perselisihan, baik dengan cara mencegahnya terjadi, maupun dengan cara mengatasi kalau peristiwa tersebut sudah telanjur terjadi. Terkait pencegahan pelanggaran, Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum telah mengamanatkan pembentukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang tersetruktur dari Badan Pengawas Pemilu, Badan Pengawas Pemilu Provinsi, Badan Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, sampai pada tingkat paling bawah yakni Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS).
Pada kesempatan yang sama, Majelis Hakim Konstitusi juga mendengarkan keterangan para saksi baik saksi yang dihadirkan oleh Pemohon, saksi Termohon maupun saksi Pihak Terkait. Saksi Pemohon yakni Ida Rosita menerangkan terdapat pencoblosan ganda yang dialihkan pada suara partai. “Terdapat 9 suara yang dialihkan,” ujarnya.
Sementara Metrius yang merupakan Ketua KPPS di TPS 14 Desa Kualu Kabupaten Kampar menerangkan pemungutan dan penghitungan suara berjalan lancar. “Tidak ada keberatan dan dihadiri 10 saksi partai,”jelas Metrius.
Pada sidang pendahuluan, Pemohon mendalilkan terdapat perbedaan suara pemohon, dimana di dapil II Riau yang terdiri dari 5 (lima) kabupaten, yakni Kabupaten Kampar, Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Indragiri hulu, Kabupaten Indragiri Hilir, dan Kabupaten Pelalawan terdapat selisih suara 4.505 suara yang sesungguhnya merupakan suara pemohon. Terjadinya selisih tersebut disebabkan karena ada peristiwa di banyak TPS di lima kabupaten yang disebutkan tadi dimana model perhitungan yang dilakukan ada surat suara yang dicoblos maka perhitungannya dihitung sebagai suara partai.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan